Kompas TV kolom opini

Dari Jurang yang Dalam

Kompas.tv - 30 Januari 2021, 17:42 WIB
dari-jurang-yang-dalam
Ilustrasi: berdoa. (Sumber: triaskun.id)

Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

Seorang sahabat, kemarin, mengirim sepotong doa lewat WhatsApp (WA): “De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam!”

Kaget, membaca doa itu. Bung, mengapa situ mengirim doa begitu nggrantes—sangat sedih seperti sudah kehilangan pengharapan—begitu memelas, seperti itu? Mengapa situ meratap, Bung?

Rasanya, doa itu yang harus kulambungkan, Bung, melihat kondisi sekarang ini. Begitu jawabnya. Lalu, ia menulis panjang lebar.

Bung, setiap kali kubaca berita, entah itu yang diberitakan media mainstream atau media sosial atau aku mendengarkan siaran berita televisi juga radio, hati selalu bertanya: “Kapan pandemi ini berakhir?”

Bukankah wajar bertanya seperti itu? Coba, Bung, situ simak data: berapa banyak orang yang menjadi korban keganasan Covid-19? berapa yang meninggal? dan berapa banyak yang bisa sembuh di seluruh dunia? Simak pula, berapa korbannya di negeri ini?

Hingga hari Jumat, 29 Januari kemarin, di seluruh dunia tercatat 102.132.746 orang menjadi korban  Covid-19; 2. 202.990 orang meninggal; lalu 73.984.929 orang dinyatakan sehat (https://www.worldometers.info/coronavirus/). Mereka itu tersebar di 219 negara, termasuk Indonesia.

Sepuluh besar negara yang paling parah berturut-turut adalah AS, India, Brasilia, Rusia, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Turki, dan Jerman. Negeri kita, Indonesia, menempati urutan ke-19, Bung! Per hari Jumat kemarin, menurut data worldometers, di Indonesia ada tercatat 1.051.795 orang sakit, kasus baru 13.802 orang, yang meninggal 29.518, dan yang sembuh total 852.260 orang.

Di tingkat Asia, Indonesia menempati urutan keempat: India, Turki, Iran, Indonesia, Israel, Irak, Pakistan, Bangladesh, Filipina, dan Jepang. Sulit membayangkan, Bung, apa jadinya seandainya negeri kita ini berupa daratan semua—tidak dipisahkan oleh laut—seperti Eropa.

Bukankah dengan kenyataan seperti itu membuat hati kita rasanya seperti dilipat-lipat? Itu sebuah realitas. Menolak realitas adalah sia-sia dan percuma, Bung. Realitasnya, banyak korban. Walaupun, harus diakui, usaha untuk memutus rantai penularan sudah tak kurang-kurang dilakukan.

Tetapi—ini juga realitas yang pahit—banyak anggota masyarakat di negeri ini yang tidak peduli, yang kurang disiplin untuk memakai masker, misalnya. Bahkan, masih ada yang tidak percaya bahwa pandemi Covid-19 itu benar-benar, bahwa pandemi Covid-19 sebuah kenyataan, sebuah realitas.

Bahkan, Bung, masih saja ada yang menyebarkan hoaks, berita bohong tentang pandemi Covid-19 ini; tentang vaksin. Asal tahu saja, Bung, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak Maret 2020, media sosial menjadi tempat menyebarnya sekumpulan hoaks dan misinformasi.

Coba bayangkan, Bung, menurut identifikasi Sub Direktorat Pengendalian Konten Internet Ditjen Aplikasi Informatika Kemkominfo, hingga 26 Januari 2021 ada 1.387 isu hoaks tentang Covid-19 yang  tersebar di media sosial. Apa ini enggak, gila. Orang masih saja menyebar hoaks.

Di mana hati mereka? Di mana rasa kemanusiaan mereka? Apa tidak punya? Apa mereka para pembuat dan penyebar hoaks sudah tidak punya hati lagi? Di sinilah pentingnya hati nurani. Hati nurani berperan penting dalam membuat keputusan moral. Hati nurani sering kali disebut sebagai “suara Allah”.

Bukankah, hati adalah inti diri manusia. Di hatilah semua dimensi yang berbeda saling terkait satu sama lain, yakni tubuh dan roh, ruang batin dan keterbukaan pada dunia serta sesama, intelektualitas, kehendak dan afektivitas (Paus Fransiskus, Lumen Fidei). Ketika hati dijaga agar tidak tercemar oleh kecenderungan buruk, orang akan menjadi lebih terbuka pada kebenaran dan kasih. Dan, orang yang demikian itu, tidak akan bersaksi dusta, dengan menyebarkan hoaks.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x