KAIRO, KOMPAS.TV – Korban tewas akibat bentrokan antara warga Arab dan non-Arab di kawasan Darfur barat, Sudan telah mencapai 129 orang, termasuk anak-anak dan perempuan, demikian diungkapkan para dokter dan pekerja kemanusiaan pada Senin (18/1) seperti dikutip dari Associated Press.
Bentrokan berdarah yang terjadi di Provinsi Darfur Barat, Sudan ini bermula dari perkelahian di sebuah kamp pengungsi di Genena, ibukota Darfur Barat pada Jumat (15/1), dan kemudian memanas dan berlangsung hingga Minggu (17/1).
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, bentrokan antara anggota suku Arab Rizeigat dan suku non-Arab Massalit itu telah memaksa setidaknya 50.000 orang mengungsi.
Baca Juga: Bentrokan Berdarah di Darfur Sudan Tewaskan 32 orang dan Lukai Puluhan Lainnya
Komite dokter di provinsi tersebut mengatakan, bentrokan berdarah itu telah menewaskan sedikitnya 129 orang dan melukai 189 lainnya, termasuk para bayi yang baru lahir. Di antara korban tewas terdapat seorang warga negara Amerika Serikat (AS) bernama Saeed Baraka dari Atlanta, yang tengah mengunjungi keluarganya di Darfur.
Menurut para dokter, jumlah korban tewas dalam bentrokan berdarah yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini, diperkirakan akan terus bertambah.
“Skala krisis di Darfur Barat ini tidak terbayangkan. Pemerintahan transisi seharusnya mengambil alih tanggung jawab dan menyatakan provinsi ini sebagai area bencana," demikian bunyi pernyataan komite para dokter. Komite ini merupakan bagian dari Asosiasi Profesional Sudan yang memelopori pemberontakan populer yang pada akhirnya menyebabkan penggulingan presiden otokratis yang lama memimpin, Omar Al-Bashir oleh militer pada April 2019.
Baca Juga: Nasib Ribuan Pengungsi di Yida, Sudan, Selama Pandemi Covid-19
Adam Regal, juru bicara sebuah organisasi lokal yang membantu mengelola kamp-kamp pengungsi di Darfur mengatakan, pihak keluarga korban mulai menguburkan para anggota keluarga mereka yang tewas dalam bentrokan berdarah tersebut usai bentrokan mereda. Namun, ia memperingatkan adanya kemungkinan bentrokan baru.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyatakan, perkiraan awal menunjukkan setidaknya sekitar 50.000 orang mengungsi akibat bentrokan tersebut. Mereka mengungsi di gedung-gedung sekolah dan pemerintahan. Perlindungan, tempat penampungan dan makanan menjadi kebutuhan mendesak di Darfur Barat sekarang.
Baca Juga: Mengenal Letkol Revilla Oulina, Prajurit TNI Wanita Pertama yang Jadi Komandan Pasukan PBB di Sudan
Bentrokan berdarah ini mengancam transisi demokrasi Sudan yang kondisinya sudah rapuh. Pemerintahan Sudan yang diisi oleh kelompok militer dan sipil sejak April 2019, telah berjuang untuk mengakhiri perang sipil yang berlangsung selama puluhan tahun dan kondisi perekonomian yang lumpuh.
Pihak berwenang memberlakukan jam malam selama 24 jam di seluruh kawasan provinsi Darfur Barat dan pihak militer dan polisi diijinkan menggunakan kekuatan mereka jika diperlukan. Pemerintah pusat di Khartoum juga mengirim sejumlah pasukan keamanan.
Bentrokan terjadi dua pekan setelah Dewan Keamanan PBB mengakhiri mandat pasukan penjaga perdamaian gabungan PBB – Uni Afrika di kawasan itu. Pasukan UNAMID, yang didirikan pada 2007, merupakan operasi gabungan penjaga perdamaian PBB – Uni Afrika pertama.
Baca Juga: PBB Tuntaskan Penarikan Pasukan Perdamaian Dari Darfur Sudan Bulan Juni Nanti
Pemerintah dan Front Revolusioner Sudan, koalisi sejumlah kelompok bersenjata, pada akhir tahun lalu membentuk Pasukan Perlindungan Sipil berkekuatan 12.000 orang di Darfur, menurut kesepakatan damai yang mereka capai pada tahun 2020.
Konflik Darfur dimulai pada tahun 2003 saat etnis Afrika memberontak, menuduh pemerintah yang didominasi kaum Arab di Khartoum telah melakukan diskriminasi. Pemerintah dituduh melakukan pembalasan dengan mempersenjatai suku-suku nomaden Arab setempat dan melepaskan milisi yang dikenal dengan sebutan ‘janjaweed’ pada warga sipil. Tuduhan ini dibantah pemerintah Sudan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.