WASHINGTON, KOMPAS.TV – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dimakzulkan oleh parlemen AS untuk kedua kalinya pada Rabu (13/1/2021). Ia didakwa dengan tuduhan hasutan pemberontakan atas pengepungan massa di Gedung Capitol dalam hari-hari terakhirnya menjabat sebagai Presiden AS.
Parlemen AS memilih sebanyak 232 suara melawan 197 suara untuk mendakwa Trump. Proses persidangan berjalan secepat kilat, dengan anggota parlemen memberikan suara hanya satu minggu setelah loyalis Trump menyerbu Gedung Capitol AS. Penyerbuan Gedung Capitol dilakukan setelah Trump menyerukan mereka untuk "berjuang mati-matian" melawan hasil pemilu.
Baca Juga: DPR AS Akan Lakukan Sidang Pemakzulan untuk Trump dengan Dakwaan Hasutan Pemberontakan
"Presiden Amerika Serikat menghasut pemberontakan ini, pemberontakan bersenjata melawan negara kita bersama," kata Ketua DPR Nancy Pelosi di Gedung Parlemen sebelum pemungutan suara. "Dia harus pergi. Dia jelas dan menghadirkan bahaya bagi bangsa yang kita cintai," ujarnya seperti dikutip dari Reuters.
Namun demikian, tampaknya tidak mungkin bahwa pemakzulan yang cepat akan mengarah pada penggulingan Trump sebelum masa jabatannya berakhir dan sebelum Joe Biden dilantik sebagai Presiden pada 20 Januari mendatang.
Pemimpin mayoritas Senat dari Partai Republik, Mitch McConnell, juga menolak seruan Partai Demokrat untuk mengumpulkan Senat dalam sesi darurat untuk memulai persidangan pemakzulan dengan segera, menurut seorang juru bicara seperti dikutip dari Reuters.
Baca Juga: Parlemen Amerika Pertimbangkan Pemakzulan Trump Pada Hari Rabu
Tidak ada presiden AS yang pernah dicopot dari jabatannya melalui pemakzulan. Presiden AS yang pernah mengalami pemakzulan adalah Trump pada 2019, Bill Clinton pada 1998 dan Andrew Johnson pada 1868. Mereka pernah dimakzulkan oleh parlemen, tetapi dibebaskan oleh Senat.
Trump sendiri pertama kali dimakzulkan oleh parlemen pada 2019 karena hubungannya dengan Ukraina, tetapi pada tahun 2020, Senat memilih untuk membebaskannya. Dia adalah presiden AS pertama yang dimakzulkan dua kali.
Meskipun jika setelah pemakzulan Trump tidak dihukum oleh Senat, tetapi Partai Republik mengatakan bahwa hal itu dapat berubah dalam lingkungan politik yang berubah dengan cepat, karena para pemegang jabatan, donor, bisnis besar, dan lainnya telah menjauh dari presiden yang kalah.
Baca Juga: DPR AS Bersiap Rilis Artikel Pemakzulan Trump Jika Amandemen Ke-25 Tak Diaktifkan
Anggota Kongres Demokrat Julian Castro, mantan kandidat presiden, menyebut Trump sebagai "orang paling berbahaya yang pernah menduduki Ruang Oval." Anggota Kongres Maxine Waters menuduh Trump menginginkan perang saudara.
Namun beberapa kader Partai Republik berpendapat bahwa dorongan pemakzulan ini terburu-buru karena melewati proses musyawarah adat seperti dengar pendapat. Mereka meminta Partai Demokrat meninggalkan upaya ini demi persatuan nasional.
“Memberitakan kepada presiden (tentang pemakzulan) dalam waktu sesingkat itu akan menjadi kesalahan,” kata Kevin McCarthy, tokoh Republik di parlemen.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.