Kompas TV kolom opini

Lidah Orang Berakal

Kompas.tv - 20 Desember 2020, 11:25 WIB
lidah-orang-berakal
Ilustrasi (Sumber: Pixabay)

Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

Satu

Beberapa hari lalu, seorang kawan mengirimkan parikan model Jawatimuran, pantun jenaka, jula-juli ini:

Lontong balap khas Surabaya

Sate kerang menambah cita rasa

Bila tak mampu cakap yang berguna

Diam adalah pilihan utama

Parikan itu hanya ingin mengatakan: jangan asal ngomong! Bahasa media sosial: jangan julid, jangan nyinyir! (kalau ngomong, ya yang nalar, masuk akal, yang mencerdaskan, dan berguna). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “nyinyir” diartikan sebagai “mengulang-ulang perintah atau permintaan, nyenyeh dan cerewet.”

Tetapi, dalam media sosial kata “nyinyir” memiliki banyak arti, antara lain, asal komentar, tukang gosip, tukang sebar aib orang, tukang kritik, waton sulaya, menggunjing orang lain, menjelek-jelekkan pihak lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dan tukang sebar berita hoaks. Inilah yang banyak terjadi akhir-akhir ini; bahkan makin menjadi-jadi.

Hari-hari ini, di media sosial beredar video pendek yang menggambarkan seorang bocah dengan enteng mencaci-maki pemimpin nasional dengan berakting seperti tokoh agama. Apakah si bocah tahu yang dia katakan? Apakah yang dia katakan muncul dari hati dan pikirannya sendiri? Tentu tidak! Apa yang dikatakan oleh bocah itu adalah hasil  indoktrinasi. Anak-anak ini menjadi “korban” orang-orang tua yang tak mampu mengendalikan lidahnya.

Di Inggris, misalnya, menurut berita yang beredar, jumlah anak berusia di bawah 18 tahun yang terlibat dengan kelompok ekstremis sayap kanan, meningkat. Kementerian Dalam Negeri Inggris mengungkapkan, selama  periode 2017-2018 jumlah anak yang terlibat dengan kelompok radikal mencapai 682.

Jumlah tersebut lima kali lipat dari periode 2014 hingga 2015 yang hanya sebanyak 131 anak. Pada periode 2017 hingga 2018, sekitar 24 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Kalau melihat yang ada di lapangan, sulit untuk dipungkiri bahwa hal serupa juga terjadi di Indonesia: makin banyak anak-anak yang terlibat dalam ujaran-ujaran kebencian, ikut berteriak-teriak dalam demonstrasi yang semestinya tidak boleh diikutinya, misalnya.

Dua

Orang yang memilih diam -sebagai pilihan utama, seperti dalam syair jula-juli di atas- secara sederhana menunjukkan kemampuannya menjaga lidah, menjaga mulut, mengendalikan lidahnya. “Siapa yang tidak bisa mengendalikan lidahnya, berarti tidak bisa memahami agamanya.” Begitu kata Hasan Al-Bashri (642-728), seorang sufi dari Madinah.

Agama adalah pakaian yang mulia. Karena agama mengajarkan serba yang baik, yang mulia. Semua agama mengajarkan perdamaian dan sikap kasih pada sesama manusia. Dasarnya adalah altruisme dan belas kasih, serta usaha memerangi musuh-musuh jiwa seperti kesombongan, amarah, atau kecemburuan—inilah yang disebut sebagai “praktik keagamaan yang nyata.” Demikian kata Dalai Lama.

Kalaupun ada ajaran atau sejarah agama-agama untuk berperang, hal itu tak dapat dijadikan argumen untuk menuduh bahwa agama an sich adalah penyebab perselisihan dan peperangan. Meskipun demikian, tidak ada satu orang pun yang dapat menyangkal bahwa semua agama berulang kali telah menjadi alat kekerasan dan mempunyai aspek-aspek yang mendorong orang beriman untuk melakukan kekerasan, dan hingga kini semua itu masih terjadi (Hagen Berndt; 2006).



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x