Usadz M.Abduh Tuasikal menjelaskan yang dimaksud Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (mengajarkan ilmu dan dakwah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).
Sedangkan Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, contohnya puasa dan iktikaf.
Kemudian manakah yang lebih afdal diantara kedua amalan tersebut?
Para ahli fiqih menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain adalah lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949. Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426).
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini –masjid Nabawi– selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jaami’ no. 176).
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Ma’bad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 1552)
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.