ANKILIMAROVAHATSY, KOMPAS.TV – “Kelaparanlah yang membunuhnya,” tutur Lasinatry (31) pilu, mengenang putranya yang masih berusia 3 tahun yang tewas Juni lalu saat bencana kelaparan merambah Desa Ankilimarovahatsy di selatan Madagaskar, wilayah tempat tinggalnya. Bencana kelaparan kali ini, jauh lebih hebat dari tahun-tahun terakhir.
“Kami, para orang tua, sudah tidak punya apa-apa lagi untuk memberi makan anak-anak kami selain asam dan kaktus yang tumbuh di sekitar kami,” terang Lasinatry.
Menurut Program Pangan Dunia (WFP) seperti dilansir dari Associated Press, Jumat (4/12), Lasinatry hanya satu dari 1,5 juta penduduk yang membutuhkan bantuan makanan darurat. Bencana kelaparan kali ini diakibatkan kekeringan selama 3 tahun berturut-turut, pembiaran oleh pemerintah daerah setempat, dan pandemi Covid-19.
Baca Juga: Kejam, Korea Utara Biarkan Penderita Covid-19 Kelaparan hingga Mati di Tempat Karantina Rahasia
Para ibu kini berupaya memberi makan anak-anak mereka dengan apa yang ada di sekitar mereka: mangga mentah dan asam yang dicampur dengan tanah liat. Banyak anak-anak yang memiliki kaki kurus dan lemah, rambut kemerahan dan perut buncit karena kurang gizi. Tak seperti anak-anak sebaya lainnya yang sehat dan lincah bergerak, anak-anak di desa ini selalu tampak kelelahan dan pasif.
Setelah laporan tentang sedikitnya 8 anak meninggal di wilayah ini mengemuka, baru-baru ini Andry Rajoelina, presiden negara pulau di Samudera Hindia itu, datang menyambangi Mdagaskar selatan. Dalam kunjungannya, sang presiden berjanji akan memenangkan perang melawan kekurangan gizi.
Baca Juga: Menghindari Konflik, Penduduk Tigray Mengungsi ke Sudan Menyebrangi Sungai Tekeze
Meski sejumlah bantuan makanan sudah didistribusikan, para penduduk mengatakan bahwa bantuan makanan tersebut hanya cukup untuk bertahan hidup selama beberapa hari saja. Pihak WFP mengakui ini dan menyatakan bahwa stok bantuan makanan mereka memang hanya cukup bagi setengah juta penduduk hingga akhir tahun saja.
WFP juga menyebut, Madagaskar selatan tengah berada di ujung tanduk bencana kemanusiaan. Tiga dari 4 anak di distrik Amboasary yang menjadi pusat krisis kelaparan, telah meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tua mereka mencari makanan.
Para petani mengeluh, mereka tak lagi dapat menanam karena kurangnya curah hujan. Pun, mereka menyerah untuk memelihara hewan ternak akibat banyaknya kasus pencurian hewan ternak. Sejumlah penduduk juga mengatakan bahwa mereka telah menjual barang-barang kebutuhan utama mereka seperti peralatan memasak, baju, buku pelajaran sekolah, untuk mendapatkan makanan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.