BANGKOK, KOMPAS TV - Mahkamah Konstitusi Thailand hari ini (02/12/2020) menjatuhkan putusan tidak bersalah bagi Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, atas tuduhan pelanggaran pasal kode etik dalam konstitusi negara tersebut. Putusan ini membuat Prayuth bisa terus menjabat sebagai Perdana Menteri.
Keputusan Mahkamah Konstitusi negara itu menyusul aduan dari Partai Pheu Thai yang merupakan kubu oposisi terbesar parlemen negara itu yang menuding Prayuth melanggar pasal kode etik dalam konstutusi karena tetap tinggal di rumah dinas militer.
Seperti dikutip dari Associated Press, putusan Mahkamah Konstitusi Thailand jatuh hari ini, ditengah unjuk rasa dan gerakan kaum pelajar pro-demokrasi yang terus menerus menggelar unjuk rasa menuntut Perdana Menteri dan pemerintahannya mengundurkan diri atas tudingan berkuasa secara tidak sah.
Pada Mei 2014 lalu, Prayuth adalah panglima Angkatan Darat Thailand yang melakukan kudeta atas pemerintahan yang dipimpin Partai Pheu Thai. Kemudian Prayuth memimpin junta militer selama 5 tahun sebagai Perdana Menteri.
Pemilihan Umum tahun 2019 memberi kekuasaan kepada partai Palang Pracharath, yang terkait militer, dan secara koalisi memilih kembali Prayuth sebagai Perdana Menteri. Unjuk rasa yang berlangsung hingga saat ini menuduh konstitusi 2017 yang dibuat pada masa kekuasaan junta militer memberi keuntungan yang tidak adil dalam pemilihan umum kepada Partai Palang Pracharath
Saat Prayuth dan beberapa menterinya menjalani perdebatan di parlemen Februari lalu, pemimpin oposisi saat ini, Sompong Amornwiwat dari Partai Pheu Thai mengangkat isu apakah Prayuth telah bertindak melawan hukum dengan terus menempati rumah dinas militernya di sebuah pangkalan militer Bangkok.
Baca Juga: 1.450 Foto Seksi Selir Raja Thailand Sineenat Tersebar, Indikasi Terjadinya Perebutan Kekuasaan?
Tuduhan yang diteruskan kepada Mahkamah Konstitusi itu menuding Prayuth melanggar pasal konstitusi yang melarang menteri untuk menerima keuntungan dan manfaat tertentu dari lembaga negara karena akan berujung pada konflik kepentingan. Bila seorang pejabat pemerintah terbukti melanggar standar etika, pejabat tersebut harus didiskualifikasi dan turun dari jabatannya.
Tim pembela Prayuth mengajukan pembelaan bahwa kediaman resmi Perdana Menteri masih direnovasi, selain karena alasan-alasan keamanan.
Angkatan Darat beralasan bahwa perumahan militer adalah juga rumah tamu VIP, walau para pengkritik mengungkapkan apabila Prayuth tidak membayar uang listrik dan air, maka mungkin dirinya dapat dianggap melanggar hukum.
Bila Mahkamah Konstitusi Thailand menganggap Prayuth bersalah dalam tuduhan, dia juga akan dilarang mengemban jabatan pemerintah selama dua tahun. Kabinetnya kemudian akan menunjuk pejabat sementara PM hingga parlemen dapat memilih Perdana Menteri dan Kabinet baru.
Baca Juga: Unjuk Rasa Pro Demokrasi Thailand Kembali Digelar
Dekan Fakultas Hukum dari College of Asian Scholars di kota Khon Kaen, Jade Donavanik, melihat Prayuth memiliki 50-50 untuk dinyatakan bersalah. Jade meyakini putusan pengadilan akan berkisar pada pertanyaan apakah pengaturan perumahan di Angkatan Darat yang disediakan bagi Prayuth adalah hal yang lazim diberikan kepada seorang Perdana Menteri, ataukah merupakan pengistimewaan khusus bagi Prayuth. Bila hal tersebut adalah pengistimewaan, maka Prayuth harus turun dari jabatannya.
Prayuth sendiri terlihat tidak peduli akan putusan yang akan jatuh, dan mengatakan kepada wartawan kemarin (01/12/2020)bahwa ini semua tergantung Mahkamah Konstitusi.
Dapat dimaklumi mungkin Prayuth lelah atas jabatannya. Sebagai pemimpin pemerintahan militer 2014 – 2019, dirinya praktis memiliki kekuasaan tidak terbatas dan tampak terusik oleh kritik saat dirinya bekerja dalam bingkai aturan demokrasi.
12 tahun terakhir, pengadilan di Thailand telah menjatuhkan tiga Perdana Menteri, namun saat ini Prayuth diprediksi akan mendapat putusan yang berpihak pada dirinya.
Satu teori mengatakan, Mahkamah akan menjatuhkan Prayuth dari jabatannya sebagai cara untuk mendinginkan gerakan pro-demokrasi yang selain menyasar Perdana Menteri juga melancarkan kritik terhadap monarki yang mana tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun kalangan pemimpin unjuk rasa menyatakan mereka memikirkan reformasi terhadap monarki negara itu, yang mereka yakini memegang kekuasaan terlalu besar dalam sebuah negara monarki demokrasi konstitusional.
Mahkamah Konstitusi, disamping Angkatan Bersenjata, dipandang sebagai pilar dari kalangan pendukung monarki sekaligus penjaga terdepan dari ancaman terhadap kerajaan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.