Oleh: Yasir Nene Ama, Jurnalis Kompas TV
“Saya senang banget bisa ditelepon dan diajak ngobrol sama Kak Yasir."
Ini petikan percakapan saya dengan Khairunisa (nama samaran), anak dengan HIV/AIDS.
Khairunisa mengaku senang mengobrol karena sejak pandemi Covid-19 sudah tak pernah berjumpa lagi. Sebelumnya kami bertemu setiap dua minggu sekali.
Kebetulan saya mengajar dia dan teman temannya di kelas belajar Yayasan Syair.org, sebuah lembaga yang memberikan pendampingan untuk anak anak HIV/AIDS.
Tentu tak cuma dengan saya. Nisa juga rindu belajar dan bermain bersama temannya sesama anak dengan HIV/AIDS. Keingian Saya menelpon Nisa dan ibunya, Shinta (nama samaran), karena bertepatan dengan hari AIDS sedunia, Selasa 1 Desember 2020.
“Gimana Nisa masih rutin kan minum obatnya?” tanyaku saat menelpon.
“Masih dong, Kak. Kata Mama minum obat dan vitaminnya harus rutin dan enggak boleh bolong. Kalau enggak nanti bisa enggak kuat,” ujar Nisa.
Khairunisa menjadi salah seorang anak dengan HIV/AIDS yang bulan kemarin genap berusia 13 tahun. Ia tertular dari ibunya yang juga positif HIV.
Pada usia yang masih terbilang muda, dia juga harus kehilangan sang ayah pada 2008 karena komplikasi penyakit akibat HIV/AIDS. Cobaan hidup yang cukup berat untuk anak seusianya.
Nisa sadar ada virus mematikan dalam tubuhnya sejak dua tahun lalu. Sang ibu memberanikan diri untuk menceritakan hal ini karena Nisa sering bertanya tentang kondisi dirinya.
“Awalnya sih dari umur tujuh tahun dia sering tanya kenapa minum obat dan membaca (juga) soal HIV," kata Shinta.
Alasan lainnya karena Nisa dinilai sudah bisa bertanggung jawab dan menjaga rahasia soal penyakitnya.
“Saat saya cerita soal ini ke Nisa, saya sedih banget. Takut dia terpukul dan malah emosi. Tapi, alhamdulillah dia mau mengerti. Saya juga meminta dia untuk merahasiakan hal ini dari siapa pun termasuk teman dan gurunya di sekolah,” ungkap Shinta lagi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.