JAKARTA, KOMPASTV. Dana Moneter Internasional dalam rilis World Economic Outlook Juni mengambil judul ”A Crisis Like No Other, Uncertain Recovery”. Dalam laporan ini, perekonomian global diproyeksi tumbuh minus 4,9 persen tahun ini.
“Krisis kali ini tak ada duanya karena bersumber pada masalah kesehatan yang penanganannya sama sekali di luar ruang lingkup kebijakan ekonomi. Akibatnya, berbagai proyeksi dan langkah mitigasi mengandalkan asumsi yang ujungnya sama sekali tak diketahui. Semua perhitungan punya kesimpulan sama: masa depan serba tidak pasti,” jelas A Prasetyantoko, Rektor Universitas Katolik Atma Jaya.
Saat ekonomi seakan membeku oleh pandemi, jalan pintas untuk mencairkan kerasnya ancaman kemiskinan adalah utang.
Bank Dunia merilis laporan berjudul International Debt Statistics (IDS) pada 12 Oktober 2020. Di dalam laporan tersebut, Indonesia berada pada posisi ketujuh dari daftar 10 negara berpendapatan kecil menengah dengan nilai utang luar negeri terbesar di dunia.
Baca Juga: Pandemi & Kemiskinan Ekstrem: Gunungan Utang (1)
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari mengatakan laporan tersebut berisi data dan analisis posisi utang Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara berpendapatan kecil dan menengah. Namun demikian, laporan perbandingan yang dimaksud tidak menyertakan negara-negara maju. Sehingga terlihat bahwa posisi Indonesia, masuk dalam golongan 10 negara dengan ULN terbesar.
Di samping itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 88,8 persen dari total ULN.
"Pemerintah mengelola utang dengan prinsip kehati-hatian (pruden) dan terukur (akuntabel)," tegasnya.
Pada paparan perbandingan utang oleh Bank Dunia, terlihat pinjaman Indonesia di antara negara-negara lain terhitung besar. Soalnya, ekonomi Indonesia masuk dalam kelompok negara G-20 pada urutan ke-16.
Kemiskinan Sama Halnya Dengan Kematian
A Prasetyantoko punya kalimat yang menohok. Kemiskinan, sama halnya dengan kematian, bukan hanya soal angka. Kemiskinan adalah kegetiran dan jerih payah mengatasi penderitaan.
Situasi ini yang digambarkan Bank Dunia terus bertambah seiring potensi resesi yang meningkat akibat pandemi Covid-19. Laporan semesteran Indonesia Economic Prospect edisi Juli berjudul ”Long Road to Recover” menjelaskan dengan lugas: tanpa bantuan sosial dari pemerintah, angka kemiskinan di Indonesia akan bertambah 5,5 juta hingga 8 juta tahun ini.
Peningkatan kemiskinan terutama disebabkan penurunan pendapatan rumah tangga 5-7 persen seiring peningkatan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan. Perekonomian yang mandek akibat pandemi Covid-19 membuat 2,6 juta-3,6 juta penduduk kehilangan pekerjaan, baik secara permanen maupun temporer.
Berbasis survei, Bank Dunia menunjukkan penurunan penghasilan paling tajam dialami pekerja jasa tradisional dan sektor pertanian, diikuti sektor manufaktur. Pendapatan rumah tangga di daerah perkotaan turun 5,5 persen-7,5 persen atau lebih besar dari rerata penurunan nasional.
“Peningkatan kemiskinan terjadi seiring kinerja pertumbuhan yang merosot sepanjang tahun ini, yang diramalkan tumbuh 0 persen dalam skenario optimistis, tutur Prasetyantoko.
Skenario optimistis dilandasi tiga asumsi. Pertama, pertumbuhan global tidak lebih buruk dari skenario Juni yang minus 5,2 persen. Kedua, perekonomian domestik sudah dibuka secara menyeluruh pada Agustus seperti skenario pemerintah. Ketiga, tidak ada gelombang kedua virus korona.
Jika syarat tak terpenuhi, Bank Dunia khawatir perekonomian Indonesia bisa tergelincir menjadi minus 2 persen pada tahun ini. Resesi akan menjerumuskan lebih banyak penduduk dalam derita kemiskinan.
“Pemerintah punya peran amat sentral agar derita (angka) kemiskinan tersebut bisa diringankan, jika memang tak terhindarkan,” terang Prasetyantoko.
Pilihan sulit antara melindungi kehidupan dan menjaga kesejahteraan dialami semua negara. Dan dalam situasi sulit ini, tumpuan harapan ada pada kebijakan fiskal. Pemerintah dipaksa terus menggelontorkan likuiditas dalam jumlah sangat besar guna menopang upaya mengatasi krisis, baik di bidang kesehatan maupun perekonomian. Kebijakan fiskal menjadi sangat sentral dan krusial.
(Dyah Megasari, Rilis Bank Dunia, Kompas.id, Reuters)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.