JAKARTA, KOMPASTV. Kebijakan publik adalah soal legitimasi, bukan soal benar dan salah. Masalahnya, dalam demokrasi, legitimasi dibangun dari konsensus atas berbagai kepentingan yang bisa saling menegasi. Di situlah dilema utama pengambilan kebijakan di era-demokrasi. Kecepatan birokasi merespons perubahan situasi bisa menjadi kunci untuk keluar dari dilema rumit ini.
Begitulah situasi yang terjadi dengan polemik hebat soal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR pada 5 Oktober lalu. Ada dua hal yang menjadi fokus perdebatan, yaitu soal proses penyusunan dan substansinya. Dari sisi proses, kritik tertuju pada dinamika yang dianggap tertutup dan terlalu cepat untuk sebuah kerangka perundangan yang sedemikian luas dan kompleks. Sementara, dari sisi substansi, ada beberapa titik perdebatan seperti perlindungan pekerja dan lingkungan yang berkurang, serta kembalinya otoritas kebijakan pada pemerintah pusat (resentralisasi).
Selain dua hal tersebut, gugatan juga menjurus pada urgensinya. Jika tujuannya meningkatkan investasi, masalah korupsi lebih krusial dibereskan daripada meluncurkan RUU Cipta Kerja. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara destinasi utama investasi asing selama ini. Kita sama sekali tak kekurangan investasi, mengapa perlu upaya ekstra meningkatkannya? Begitu berbagai gugatan mengalir deras pada urgensi UU Cipta Kerja ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 dan 3, tujuan RUU Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja (pertama-tama) melalui pemberdayaan koperasi dan unit usaha mikro, kecil, dan menengah. Tentu ada banyak pasal terkait investasi strategis yang nilainya besar dan melibatkan investor (asing) besar pula. Meski begitu, anggapan RUU Cipta Kerja hanya berorientasi mendatangkan investasi (asing) berskala besar tak sepenuhnya valid. Jika dibaca lebih detail, tampaknya RUU ini bermaksud mendorong transformasi melalui peningkatan produktivitas dan daya saing ekonomi domestik.
Mungkin saja, perdebatan selanjutnya adalah mengapa perlu perubahan peraturan sebanyak itu sehingga muncul berbagai pasal yang cenderung merugikan berbagai pihak. Ini dilema lain yang juga harus dijawab secara nyata.
Relaksasi dan Transformasi
Harus diakui, semangat UU Cipta Kerja adalah melakukan relaksasi di berbagai bidang secara komprehensif dan cepat. Keyakinan umum di mana-mana tentang cara paling cepat meningkatkan produktivitas dan daya saing adalah melalui relaksasi atau liberalisasi. Dengan relaksasi diyakini akan menarik lebih banyak investasi sehingga lebih banyak kesempatan kerja tercipta. Para pendukung RUU Cipta Kerja menyakini, jika proteksi pada pekerja menurun, proteksi terhadap pekerjaan itu meningkat.
Tentu saja dari kaca mata pekerja, argumen ini ganjil. Sebab, mereka yang harus menanggung efek negatifnya. Bisa dipahami jika para pekerja tak rela kualitas hidupnya menurun, meskipun demi kesempatan kerja yang lebih luas (bagi orang lain) di masa depan. Oleh karena itu, perlu kompromi atas dilema seperti ini. Namun, tampaknya ada banyak dilema lain di berbagai aspek dalam aturan seluas ini.
Bagaimana kita keluar dari aneka dilema ini? Pertama, perlu pemetaan komprehensif dengan mengundang partisipasi berbagai pihak guna merumuskan aturan turunan yang optimal. Kedua, perlu akselerasi kerja birokrasi agar lebih responsif, baik dalam menampung masukan maupun merancang kebijakan lanjutannya.
Kalaupun RUU Cipta Kerja ini bisa begitu saja disahkan, tanpa penolakan dan proses hukum di Mahkamah Konstitusi, tak serta-merta persoalannya selesai. Persoalannya justru baru dimulai karena kuncinya ada di fase implementasi. Berbagai upaya relaksasi hanya akan relevan jika peta jalan transformasinya dijabarkan serta tahapan implementasinya dijalankan dengan baik. Fase ini sangat mengandalkan kompetensi dan kecepatan birokrasi.
Soal pengurusan izin investasi satu pintu melalui perizinan terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS), misalnya. Meskipun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 24/2018, dalam implementasinya masih banyak kendala sehingga hasilnya belum maksimal. Mekanisme yang diharapkan meningkatkan minat berinvestasi di Indonesia ini tak serta-merta membuahkan hasil. Tentu saja, investasi tak sekadar dipengaruhi kemudahan administrasif, tetapi juga faktor fundamental lainnya. Namun, fakta ini perlu menjadi pelajaran, agar omnibus law tak bernasib serupa; relaksasi tak diikuti transformasi.
Terlepas masih banyaknya pasal yang konsensusnya belum tercapai, ada (lebih) banyak pasal lain yang valid segera ditindaklanjuti. Katakan saja tentang relaksasi pendirian koperasi primer yang hanya memerlukan 9 orang dari ketentuan sebelumya 20 orang. Juga relaksasi perizinan pendirian Perseroan Terbatas (PT) serta Usaha Mikro Kecil (UMK) yang praktis tak memerlukan izin, cukup dengan pemberitahuan. RUU Cipta Kerja cukup rinci mengatur penguatan UMK, mulai dari penyatuan data, insentif fiskal hingga kewajiban pendampingan oleh pemerintah dan dunia usaha.
Berbagai pasal peningkatan kapasitas dan pemberdayaan UMK merupakan salah satu bagian pokok dari UU Cipta Kerja dalam rangka melakukan transformasi ekonomi. Oleh karena itu, kalaupun masih banyak pasal yang dianggap kontroversial, sepertinya tak perlu membatalkan seluruh konstruksi hukumnya. Meski upaya hukum masih terbuka lebar, diperlukan konsensus agar transformasi ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan daya saing tetap bisa diakselerasi.
Baca Juga: SBY: RUU Cipta Kerja Bermasalah di Sana-sini
Di lain pihak, perlu konsistensi agar RUU Cipta Kerja tak bias kepentingan investor besar. Diperlukan langkah nyata mewujudkan transformasi ekonomi domestik melalui pemberdayaan UKM. Relaksasi harus ditindaklanjuti dengan upaya transformasi yang terarah. Jika tidak, hanya akan menjadi liberalisasi yang menguntungkan pelaku besar saja. Jika hal itu terjadi, keberatan utama berbagai pihak selama ini menemukan kebenarannya.
Birokrasi memegang kunci penting dalam memastikan agar konsensus segera tercapai sehingga transformasi ekonomi sebagai tujuan utama RUU Cipta Kerja bisa terlaksana. Jangan sampai kinerja birokrasi justru menggerogoti legitimasi kerangka perundangan yang secara normatif sulit dibantah lebih banyak pihak di negeri ini. Oleh Prasetyantoko -- Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
(Dyah Megasari)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.