JAKARTA, KOMPAS.TV - Mata Najwa baru-baru menjadi perbincangan lantaran mewawancara kursi kosong di acaranya. Wawancara imajiner yang terjadi, sejatinya mengundang Menkes Terawan, namun sang menteri berhalangan hadir.
Dituding melakukan tindakan sarkasme dan melakukan wawancara imajiner. Najwa Shihab langsung angkat bicara dan menegaskan apa yang telah dilakukan.
Menurutnya treatment menghadirkan bangku kosong, adalah hal yang wajar, terlebih di negara demokrasi seperti yang berlaku di Tanah Air.
"Sejujurnya, ini bukan ide yang baru2 amat. Di negara dgn tradisi demokrasi dan debat yang lebih panjang dan kuat, misalnya Inggris atau Amerika, menghadirkan bangku kosong yang mestinya diisi pejabat publik sudah biasa," ujarnya melalui akun Instagramnya pada Selasa (29/9/2020),
"Treatment ini juga berbeda dengan format wawancara imajiner," ujarnya.
"Pertama, pada dasarnya saya tidak sedang melakukan wawancara, saya hanya sedang mengajukan pertanyaan, Pertanyaan kan, tidak harus diajukan secara tatap muka. Bisa dilakukan secara jarak jauh dengan perantara macam-macam medium,"
"Ini juga tidak imajiner karena (a) pertanyaan yang saya ajukan memang bukan imajiner dan saya juga tidak mengarang atau membuatkan jawaban2 fiktif seolah-olah saya sudah berdialog dengan Pak Terawan."
"(b) Pak Terawan juga sosok yang eksis dan hidup, sehingga Pak Terawan bisa menjawabnya kapan saja, bahkan sejujurnya boleh menjawabnya di mana saja," terangnya.
"Sebagai pengampu Mata Najwa, tentu saya berharap ia bersedia hadir di program saya."
"Namun, sebagai bagian dari komunitas pers lebih luas dan juga seorang warga negara, saya sudah cukup senang jika Pak Menteri menjawab kegelisahan publik walau itu tidak dilakukan di #MataNajwa,"
"Sebab kerja-kerja mengawasi proses politik dan pengambilan kebijakan adalah tugas bersama, dan saya percaya @Narasi.tv tidak sendirian melakukannya," ujarnya.
Ya, Najwa Shihab bahkan telah memikirkan berbagai resiko atas tindakannya melayangkan undangan secara terbuka itu.
"Saya memikirkan dengan cukup masak saat menghadirkan bangku kosong ini, termasuk risiko dituduh melakukan persekusi atau bullying."
"Saya berkeyakinan, elite pejabat, apalagi eksekutif tertinggi setelah presiden, bukanlah pihak yang less power -- aspek penting yang menjadi prasyarat sebuah tindakan bisa disebut persekusi atau bullying. Sulit menganggap pejabat elite adalah pihak yang lemah," jelasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.