MELBOURNE, KOMPAS.TV - Pandemi yang disebabkan oleh virus corona, membuat berbagai lapisan masyarakat merasakan hidup yang semakin kelam. Beratnya hidup semakin dirasakan oleh mahasiswa yang hidup di perantauan.
Australia adalah satu dari sekian banyak negara yang menjadi tempat tujuan bagi mahasiswa dunia yang ingin menuntut ilmu. Pandemi corona membuat kehidupan mahasiswa di negeri kangguru ini semakin sulit.
Kesulitan terutama dirasakan oleh mahasiswa yang berada di kota Melbourne. Negara bagian Victoria dengan Melbourne sebagai ibukotanya, mengalami masa penguncian atau lockdown yang cukup panjang dan ketat.
Pada bulan Maret lalu, Raiyan Chowdhury adalah seorang lelaki muda yang merasa seluruh hidupnya terkontrol dengan baik. Dia tinggal di daerah Chadstone, yaitu di Melbourne bagian tenggara. Dia mengambil kuliah untuk menjadi seorang juru masak, dan bekerja paruh waktu di sebuah tempat minum.
Namun ketika pandemi melanda, dia kehilangan pekerjan, kehabisan tabungan dan kemudian kehilangan tempat tinggal. Semua kepedihan ini ternyata belum usai. Ia kemudian mendapatkan kabar bahwa seluruh keluarganya di Bangladesh positif terinfeksi Covid 19.
“Saya merasa seperti di neraka,” ujar Raiyan seperti dilansir dari ABC Australia. “Saya merasa sangat ketakutan. Saya merasakan tekanan mental yang sangat berat,” tambahnya lagi.
Raiyan mengaku sangat depresi. Selain berbicara dengan kedua orangtuanya, dia tidak berkomunikasi dengan orang lain selama satu bulan penuh. Ia sempat mempertimbangkan untuk kembali ke Bangladesh, namun situasi yang sulit pun akan dihadapinya jika memutuskan untuk pulang.
Kembali ke Bangladesh, berarti dia harus kehilangan mimpi untuk menjadi juru masak di Melbourne, sebuah cita-cita yang dia impikan sejak lama. Pulang ke tanah air juga akan menambah beban bagi keluarga, yang saat ini pun tengah berjuang untuk bisa sembuh dari Covid 19.
Namun perlahan-lahan, ia mulai menemukan jalan untuk bertahan hidup di tempat perantauan. Pemuda berusia 19 tahun ini kemudian mendapatkan bantuan sebesar 1.100 dolar Australia (sekitar Rp 11.800.000) dari pemerintah Victoria. Dari dana bantuan itu, dia membeli sepeda elektrik. Sepeda ini dia gunakan untuk bekerja sebagai pengantar makanan di aplikasi Uber Eats.
Namun masalah tidak serta merta selesai. Bagai jatuh dan tertimpa tangga, sepeda yang baru dibelinya kemudian hilang karena dicuri oleh orang tak bertanggung jawab.
Raiyan bukan satu-satunya pelajar internasional yang terdampak Covid 19. Banyak pelajar di Australia yang kehilangan pekerjaan karena pandemi. Kesulitan semakin nyata, karena sebagian besar dari mereka tidak dapat mengakses situs pencari kerja.
Pemerintah dan universitas sempat menyediakan bantuan, dan mahasiswa yang telah bekerja lebih dari 12 bulan bisa mendapatkan fasilitas pensiun.
Namun pada April lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison memperingatkan para pelajar di Australia, bahwa mereka harus kembali ke negara asal jika tidak bisa melanjutkan pembiayaan kuliah secara mandiri. Karena saat ini pemerintah tidak dapat memberi bantuan lagi pada mereka. Fokus pemerintah Australia saat ini adalah untuk membantu warga negara mereka sendiri yang juga kesulitan menghadapi pandemi.
Beberapa pelajar internasional di Australia memang pulang ke negara masing-masing. Sedangkan mahasiswa yang lain masih mencoba bertahan dengan mengandalkan tabungan yang tersisa. Ada juga yang kini mengandalkan dana pribadi dari keluarga.
Hingga kini, masih banyak mahasiswa yang kebingungan, apakah tetap bertahan di Australia atau memilih untuk pulang ke negara asal.
Mahasiswa internasional di Australia sudah mulai kehabisan tabungan, namun kembali ke negaranya juga bukan pilihan mudah. Saat ini, membeli tiket penerbangan internasional sangatlah sulit. Jika pun ada penerbangan untuk pulang, harganya bisa dipastikan sangat mahal. Selain itu, resiko terinfeksi Covid 19 di negara asal mungkin sangat besar.
Kini, banyak mahasiswa internasional di Australia, khususnya di negara bagian Victoria yang menggantungkan hidup pada sumbangan dari pihak lain. Pandemi Covid 19 memang dirasa berat bagi semua lapisan masyarakat, namun bagi para perantau di negara lain, kesulitan hidup dirasa semakin nyata karena harus menghadapi sendiri tanpa bantuan dari keluarga.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.