JAKARTA, KOMPAS.TV - Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengkritisi terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No 6/2020 tentang Peningkatan Disipilin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Dia menuturkan, Inpres yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu selaras dengan bentuk kegiatan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sesuai UU 34/2004 tentang TNI Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 dan 10 yaitu membantu tugas pemerintahan di daerah dan membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
Nah, Inpres itu harus dioperasionalisasi melalui Pergub/Perwali/Perbup. Meski Inpres sudah memberi panduan terkait bentuk sanksi, namun Inpres tersebut tidak merumuskan secara rinci bagaimana penerapannya.
Baca Juga: Jokowi Keluarkan Inpres Wajib Sanksi bagi Pelanggar Protokol Kesehatan
Gubernur, bupati, dan wali kota hanya diminta melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, TNI dan Polri. Di sini potensi masalah muncul. Inpres menyebutkan bahwa tugas TNI dan Polri adalah melakukan pengawasan, patroli dan pembinaan masyarakat.
"Mengingat bahwa pelaksanaannya akan diatur melalui Pergub/Perbup/Perwal, maka isi peraturan-peraturan tersebut mestinya tidak boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia dan memperhatikan betul bahwa pengawasan, patroli dan pembinaan masyarakat itu (sesuai isi Inpres) dilakukan dalam koridor penegakan disiplin, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat," katanya dalam keterangan tertulisnya..
Artinya, lanjut Khairul, terkait penerapan sanksi, TNI mestinya tidak berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan mengenai OMSP di atas dan memperhatikan bahwa penjuru penegakan hukum dan ketertiban masyarakat adalah Polri, bukan TNI.
"Masalahnya, bisakah dijamin Pergub/Perbup/Perwal itu dapat mengatur secara rinci batasan ruang lingkup kewenangan TNI dalam pengawasan, pembinaan masyarakat, dan penerapan sanksi?" katanya.
Apalagi Inpres 6/2020 juga mengesankan seolah TNI dan Polri berada dalam posisi setara terkait tugas pengawasan, patroli, dan pembinaan masyarakat itu.
"Padahal mestinya leading sector tetaplah unsur penegak hukum. Dalam konteks daerah, itu berarti ya organisasi perangkat daerah yang terkait dan Polri," tegasnya.
Dalam penerapan sanksi berupa teguran lisan sekalipun juga tidak boleh disepelekan adanya kemungkinan "over action" dari para personel yang bertugas di lapangan.
Baca Juga: Satgas: Ada 8 Daerah Zona Merah Empat Minggu Berturut-turut, 13 Pindah ke Posisi Rawan
"Maka mestinya Pergub/Perkab/Perwal itu juga diimbangi dengan peraturan Panglima TNI dan Kapolri yang berisi kewenangan, prosedur, cara bertindak dan larangan bagi personel yang bertugas di lapangan. Tapi Inpres tidak menginstruksikan pembuatan peraturan tersebut," terang Khairul.
"Ini agar pelaksanaannya nggak ngawur dan terhindar dari kemungkinan tumpang tindih di lapangan yang bisa berujung friksi antar petugas maupun aksi kekerasan improper dari aparat bertugas terkait penerapan sanksi pada warga masyarakat yang diduga tidak disiplin maupun melanggar protokol," sambungnya.
Khairul menambahkan, Inpres tersebut sebenarnya tidak bertabrakan dengan UU 34/2004 tentang TNI. Hanya saja penting dicatat perlunya penyiapan pedoman pelaksanaan yang jelas dan tegas, agar aturan main yang akan termuat dalam lebih dari 500 Pergub/Perbup/Perwal itu tidak salah arah.
"Terlebih lagi sampai melanggar prinsip-prinsip HAM dan penegakan hukum. Untuk memastikannya, tentu saja perlu terus diingatkan," jelasnya.
Baca Juga: Jokowi: Indonesia Bersama Lebanon
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.