Sindrom Stockholm, Ketika Sandera Malah Bersimpati terhadap Penculik
Sinau | 12 September 2022, 20:41 WIBKOMPAS.TV-Sindrom Stockholm adalah kondisi ketika korban sandera mengembangkan aliansi psikologis dengan penculiknya.
Orang dengan Sindrom Stockholm punya perasaan positif terhadap si penculik.
Hal ini tidak membuat korban ingin berlari saat ada kesempatan, namun justru mencoba mencegah penculiknya mendapat hukuman berat.
Asal-usul sindrom Stockholm
Berasal dari Kota Stockholm di Swedia sindrom Stockholm diciptakan untuk menggambarkan kondisi yang terjadi pada korban perampokan bank pada 1973 di Stockholm, Swedia.
Waktu itu dua pria bernama Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson menyandera empat orang selama enam hari dalam perampokan.
Setelah sandera dibebaskan malah menolak bersaksi melawan para penculik mereka dan bahkan mengumpulkan uang sebagai bentuk pembelaan.
Empat korban tersebut mengatakan bahwa Olsson dan Olofsson memerlakukan mereka dengan baik.
Penyebab sindrom Stockholm
Melansir medicalnewstoday, para ahli menduga bahwa sindrom Stockholm dapat berkembang saat:
- penculik memerlakukan korbannya secara manusiawi
- tawanan dan penculik memiliki interaksi tatap muka yang signifikan, memberikan peluang untuk terikat satu sama lain
- para tawanan merasa bahwa aparat penegak hukum tidak melakukan pekerjaan mereka dengan cukup baik
- tawanan berpikir bahwa polisi dan pihak berwenang lainnya tidak memiliki komitmen yang kuat
Gejalanya Mirip PTSD
Orang dengan sindrom Stockolm sering melaporkan gejala yang mirip dengan gangguan stres pasca trauma atau PTSD, yakni:
- Mudah terkejut
- Ketidakpercayaan
- Perasaan tidak nyata
- Kilas balik
- Ketidakmampuan untuk menikmati pengalaman yang sebelumnya menyenangkan
- Mudah marah
- Sering mimpi buruk
- Sulit berkonsentrasi
Baca Juga: Ini Makna dari Google Doodle Hari Ini yang Tampilkan Gambar Mangkuk Ayam Jago
Editor Video dan Grafis: Dimas WPS
Penulis : Sunbhio-Pratama
Sumber : Diolah dari berbagai sumber