Cerita Perajin Anyaman Eceng Gondok, Tak Terdampak Pandemi tapi Harga Bahan Naik Seiring Harga BBM
Sosial | 10 September 2022, 06:40 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Ginardi, seorang perajin anyaman berbahan eceng gondok, menceritakan dampak pandemi dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terhadap usahanya.
Lantunan lagu-lagu berbahasa Jawa mengalun dari pengeras suara tape recorder di salah satu sudut rumah di Dusun Kenteng, Caturharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pagi menjelang siang itu, Kamis (8/9/2022).
Sinar matahari sesekali terpantul dari riak air di saluran irigasi yang mengalir di depan rumah tersebut. Sementara, puluhan kerajinan berbahan anyaman eceng gondok yang dijemur di dekatnya, tampak menyilaukan.
Deru suara knalpot kendaraan yang tak jarang melintas, tak mengganggu aktivitas tiga perempuan dan empat pria bertopi yang sedang bergelut dengan batang-batang eceng gondok.
Sesekali mereka bercakap dan bersenandung mengikuti irama lagu "Ojo Dibandingke" yang mengalun menemani mereka bekerja.
Tidak jauh dari puluhan bahkan mungkin ratusan kerajinan berbahan anyaman eceng gondok yang telah jadi, bertumpuk beberapa ikat batang eceng gondok kering berwarna kecokelatan.
Sementara, di sisi kiri, tepat di samping tembok, terdapat semacam ember dari tong plastik, berisi cairan berwarna putih. Di atasnya, ada seng bergelombang, yang dipasang menurun.
Cairan putih itu merupakan zat antijamur yang digunakan untuk merendam atau mencelupkan kerajinan anyaman yang sudah melalui proses penjemuran dan finishing.
Sedangkan seng bergelombang itu sengaja dipasang untuk meniriskan kerajinan yang telah dicelupkan ke dalam cairan antijamur.
“Bapak belum datang, Mas. Masih ambil barang. Monggo ditunggu dulu,” ucap istri Ginardi, pemilik usaha kerajinan anyaman eceng gondok tersebut, ramah.
Ia kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya menyelesaikan anyaman bersama keenam karyawannya.
Jari-jari mereka tampak lincah menyelipkan batang-batang eceng gondok di sela anyaman. Ada juga yang menggunakan semacam jarum berukuran besar untuk membuat tali tas.
Ginardi datang saat azan Zuhur berkumandang. Mobil pikap yang dikendarainya memuat cukup banyak kerajinan anyaman eceng gondok.
Keenam karyawannya segera berdiri dan berjalan menuju mobil untuk menurunkan barang-barang itu, lalu pulang ke rumah masiing-masing karena telah memasuki jam istirahat makan siang.
Pria yang sudah berkutat dengan batang-batang eceng gondok sejak tahun 1999 ini kemudian menceritakan bagaimana dirinya memulai usaha ini hingga mampu mempekerjakan belasan tetangganya.
Pandemi Covid-19 yang untuk sebagian besar pelaku usaha menjadi masa yang paling sulit, justru tidak terlalu dikeluhkan oleh Ginardi.
Selama dua tahun diserang oleh pandemi, usahanya tetap berjalan lancar, bahkan beberapa kali ia menerima banyak pesanan.
“Kalau waktu pandemi itu malah lancar, orderan banyak. Tapi setelah selesai pandemi, malah sepi. Udah hampir sekitar dua bulan setelah Lebaran itu agak sepi,” tuturnya.
Meski lolos dari cengkeraman pandemi, Ginardi mengaku belum tahu bagaimana dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap usahanya.
Saat ini, stok sejumlah alat dan bahan yang digunakannya untuk berproduksi masih mencukupi, termasuk lem dan cairan antijamur.
Sehingga, ia belum tahu harga bahan dan perlengkapan itu setelah harga BBM bersubsidi dinaikkan.
“Ini masih menggunakan stok sebelum kenaikan harga BBM, jadi seperti lem itu stoknya udah banyak. Jadi belum tahu nanti itu harganya naik atau tidak.”
“Kalau biaya produksi kemungkinan bakal naik, karena otomatis (biaya) transportasi pengambilan bahan baku dari Tegal ke sini naik,” tuturnya.
Sesaat ia terdiam, kemudian seperti mengingat sesuatu. Rupanya, ia ingat bahwa harga bahan baku anyaman, yakni tumbuhan eceng gondok sudah naik.
Sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi, Ginardi membeli eceng gondok kering seharga Rp5.500 per ikat. Tapi, pada pembelian terakhir, penyuplainya sudah menaikkan harga menjadi Rp6 ribu per ikat.
“Oh iya, seperti kemarin, kemarin itu eceng gondok, sebelum kenaikan harga BBM harganya Rp5.500, ternyata setelah sampai di sini, yang dihitung harga Rp5.500 cuma yang kiriman pertama.”
Selama ini Ginardi membeli bahan baku eceng gondok dari sejumlah daerah di luar Yogyakarta, seperti Ambarawa, Tegal, hingga Demak, Jawa Tengah.
Sebab, di area Yogyakarta, bahan baku eceng gondok tidak lagi tersedia.
Dari ketiga daerah tersebut, eceng gondok kualitas terbaik berasal dari Ambarawa. Tapi, saat ini Ginardi tidak lagi membeli bahan baku dari Ambarawa karena stoknya semakin menipis.
“Eceng ngambilnya dari Demak, Tegal, kalau dulu ambilnya dari Ambarawa. Tapi sekarang tinggal Demak dan Tegal, karena Ambarawa sudah dibersihkan untuk tempat wisata,” tuturnya.
Eceng gondok yang berasal dari Tegal dan Demak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk bahan baku yang berasal dari Tegal, kata dia, ukurannya lebih panjang.
Sedangkan bahan baku dari Demak, memang ukurannya lebih pendek, tetapi dari kualitas pemotongan dan kebersihannya lebih bagus.
“Kalau yang panjang, dari Demak. Tapi yang dari Demak itu kualitasnya masih kalah dengan yang dari Tegal.”
“Eceng gondok dari Tegal itu ukurannya pendek-pendek, tapi bisa bersih. Cara supplier memotong juga sudah bagus, karena sudah saya ajari, jadi kualitasnya mendingan daripada yang Demak,” lanjutnya.
Proses Produksi
Berbekal bahan-bahan mentah berupa batang eceng gondok kering tersebut, Ginardi kemudian membuatnya menjadi kerajinan anyaman.
Setidaknya ada dua cara penganyaman, yakni dengan eceng gondok kering yang sudah di-press atau dipipihkan dan menggunakan eceng gondok utuh.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV