Ajukan Diri Jadi Justice Collaborator, Wahyu Setiawan Siap Bongkar Kasus Harun Masiku
Hukum | 22 Juli 2020, 12:21 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Wahyu Setiawan mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) sebagai terdakwa kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR RI periode 2019-2024. Wahyu Setiawan akan mengungkap dugaan keterlibatan sejumlah pihak hingga Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto terkait kasus PAW Harun Masiku.
Hal tersebut dikemukakan oleh kuasa hukum Wahyu Setiawan, Saiful Anam, Rabu (22/7/2020) seperti dikutip dari Kompas.com. “Pembongkaran termasuk misalkan dugaan ke Hasto (Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto) dan juga PDI-P, Megawati, beliau itu akan membuka proses itu semua, apakah ada keterlibatan,” kata Saiful Anam.
Kepada KOMPASTV, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, menyatakan menghormati proses hukum terkait kasus PAW Harun Masiku. Termasuk, sambung Hasto, upaya terdakwa Wahyu Setiawan untuk menjadi justice collaborator atau pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum.
“Kita hormati proses hukum, termasuk menjadi justice collaborator itu merupakan hak yang dimiliki oleh saudara Wahyu,” kata Hasto dalam pesan singkat.
Menanggapi pernyataan Saiful Anam soal rencana kliennya yang akan membongkar dugaan keterlibatan sejumlah pihak terkait kasus PAW Harun Masiku. Hasto menegaskan tidak ada perintah orang per orang dalam menempatkan kadernya pada jabatan strategis.
“Yang ada adalah perintah Partai yang diambil melalui rapat Partai dan hal tersebut sah sebagai pelaksanaan kewenangan Partai di dalam menempatkan kadernya pada jabatan strategis,” tegas Hasto.
Hasto pun menegaskan sejak awal PDI Perjuangan taat hukum. Ia juga menyatakan bertanggung jawab atas pelaksanaan seluruh keputusan politik Partai. Termasuk, sambungnya, bagaimana partai menjalankan keputusan MA yang memberikan dasar legalitas bahwa proses penetapan calon terpilih bagi calon terpilih yang meninggal dunia, merupakan kewenangan politik Partai.
“Peserta pemilu legislatif adalah partai politik, dan kursi yang dimiliki adalah kursi partai, bukan orang per orang. Ketika keputusan MA tidak dilaksanakan oleh penyelanggara pemilu, maka disitulah akar persoalan terjadi. Seluruh proses penggantian calon terpilih yang berhalangan tetap adalah kewenangan politik Partai. Jadi Partai justru menjadi korban, termasuk framing politik akibat rivalitas antar politik dalam kehidupan yang liberal,” kata Hasto menjelaskan.
Penulis : Ninuk-Bunski
Sumber : Kompas TV