Polemik Komersialisasi Rapid Test, Epidemiolog: Lebih Baik Diberhentikan!
Sapa indonesia | 7 Juli 2020, 14:01 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Persyaratan perjalanan dengan melampirkan dokumen kesehatan ketika masyarakat menggunakan transportasi umum menuai polemik.
Syarat ini disayangkan karena ditenggarai menjadi ladang bisnis kesehatan. Hal ini setidaknya terlihat dari sejumlah maskapai yang ramai-ramai menawarkan tes kesehatan bagi calon penumpangnya.
Sebagian besar maskapai mengenakan tarif yang terbilang mahal.
Garuda Indonesia, mengenakan biaya pemeriksaan rapid test sebesar 315 ribu rupiah, sedangkan untuk pemeriksaan polymerase chain reaction atau PCR, biaya yang harus dikeluarkan sebesar 1,5 juta rupiah.
Untuk maskapai Sriwijaya Air, mengenakan biaya 300 ribu rupiah untuk layanan rapid test. Lalu, maskapai Citilink mengenakan biaya 280 ribu rupiah untuk rapid test.
Sementara Lion Air Grup, menawarkan biaya rapid test paling murah yakni 95 ribu rupiah.
Komisioner Ombudsman Ri, Laode Ida, berdasarkan tertarik untuk menimta tim ombudsman mencari tahu berapa harga sesungguhnya alat rapid test. Ternyata harga yang ditemukan pada saat investigasi, untuk harga dasarnya adalah sekitar Rp 70.000,-
Epidemiolog, Pandu Riono, cukup keras untuk mengatakan peniadaan rapid test ini untuk transportasi. Ia mengatakan walaupun dikatakan baik oleh Kemenkes, namun sangat tidak bermanfaat jika digunakan untuk mendeteksi virus.
Lebih baik di berhentikan saja, daripada tidak ada manfaatnya. Ia menambahkan, karena nantinya ini dapat dimanfaatkan bagi mereka yang mau mencari keuntungan dalam banyak hal.
Lebih lengkapnya, saksikan penayangan dialog di acara Sapa Indonesia Pagi bersama anggota Ombudsman, Laode Ida, lalu ada Wakil Ketua Komisi IX DPR, Emanuel Melkiades Laka Lena, serta Epidemiolog, Pandu Riono.
Penulis : Fransiska-Wijayanti
Sumber : Kompas TV