> >

Nepotisme Bisa Membuat Ambyar - Opini Budiman Eps. 6

Berita kompas tv | 24 April 2020, 05:20 WIB

Oleh: Budiman Tanuredjo

Sabtu malam, 11 April 2020, konser Didi Kempot di Kompas TV berakhir menggembirakan. Meski ditandai server Kitabisa.com ambyar atau down, dalam tiga jam terkumpul donasi sekitar Rp 5,3 miliar. Solidaritas sobat ambyar memang luar biasa. Galang dana untuk penanganan Covid-19.

Sebelumnya, Najwa Shihab sukses menggalang dana publik miliaran rupiah lewat konser #dirumahaja. Dalam skala kecil, pada acara bincang-bincang Satu Meja The Forum di Kompas TV, 15 April, seorang pengusaha menyumbang Rp 500 juta untuk disalurkan melalui Dana Kemanusiaan Kompas (DKK).

Langkah filantropis pengusaha dan perusahaan, seperti dari Astra International, Adaro, Prajogo Pangestu, dan Lippo Group, dalam berbagai wujudnya memberi harapan. Lippo mendedikasikan apartemennya untuk ”disulap” jadi rumah sakit khusus Covid-19. Sejumlah badan usaha milik negara yang dikomandani Menteri BUMN Erick Thohir berperan besar berbagi misi kemanusiaan.

Semangat berbagi menemukan wujudnya. Kelompok kecil mengumpulkan dana membeli bahan pokok, membuat masker, lantas dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan: pedagang informal, sopir taksi, mahasiswa, dan kelompok masyarakat terdampak Covid-19. Di Banyuwangi, Jawa Timur, ada warga merelakan rumahnya jadi tempat isolasi mandiri.

Fakta di atas—dan pasti lebih banyak lagi kisah sejenis—membuat bangsa ini harus tetap optimistis. Modal sosial luar biasa ditunjukkan masyarakat sipil. Karena itu, ketika 13 April malam seorang pemimpin lembaga survei mengirimkan tautan berita Bloomberg berjudul ”The Pandemic Will Lead to Social Revolution”, respons saya mendua. Melihat fakta sosial yang ada, situasi terburuk itu bisa dihindari sejauh tak ada penumpang gelap yang memanfaatkan situasi.

”Sangat patut diwaspadai dan diantisipasi di Indonesia,” pesannya kepada saya. Semua jaring pengaman sosial harus terpasang kuat dan menyeluruh. Dan, yang terpenting memastikan pasokan pangan tidak boleh terhenti.

Negara harus hadir menanggulangi pandemi Covid-19 dan secara paralel mengantisipasi dampak pembatasan sosial berskala besar. Paket bantuan harus dipastikan tepat sasaran ke kelompok terdampak. Keselamatan kerja tenaga medis juga harus jadi prioritas pemerintah. Layanan kesehatan tak boleh sampai lumpuh.

Jiwa kegotongroyongan adalah modal sosial yang menemani bangsa ini memasuki masa-masa sulit. Pada krisis 1998, misalnya, muncul gerakan Suara Ibu Peduli. Melihat antusiasme sobat ambyar di konser Didi Kempot, ada optimisme. Bangsa ini tidak akan ambyar.

Pandemi Covid-19 menguji solidaritas kemanusiaan dan eksistensi negara bangsa. Covid-19 menjadi kediktatoran global yang memunculkan ”keadaan darurat global”. Makhluk tak kelihatan ini menjadi teroris global. Budi Hardiman menulis di Kompas, 27 Maret 2020, bangsa dan pemerintah yang tak disiplin serta cenderung santai dan menggampangkan berpotensi menimbulkan banyak korban. Sementara bangsa yang disiplin dan berkepedulian tinggi bisa menurunkan jumlah korban.

Solidaritas kemanusiaan ialah secercah harapan. Namun, harapan yang sedikit demi sedikit mulai menyala itu bisa saja sedikit memudar. Dalam sebuah grup percakapan pesan instan beranggotakan sejumlah pemimpin redaksi media massa, Menteri BUMN Erick Thohir mengirim tautan dari portal berita Detik.com, ”Erick Thohir: Impor Alat Kesehatan Didominasi Mafia, Kita Harus Lawan”. Sontak unggahan itu disambut reaksi keras. ”Mereka gak punya rasa empati,” tulis seorang pemimpin redaksi televisi.

Sejarah selalu memberi pelajaran. Dalam krisis selalu ada orang yang mengail dan mencari keuntungan pribadi. Potensi nepotisme di lingkaran kekuasaan harus dicegah. Spekulasi yang menyebutkan ada potensi penyalahgunaan kekuasaan di lingkaran kekuasaan bisa mengurangi kepercayaan publik kepada pemerintah. Presiden Joko Widodo harus melakukan mitigasi sosial dan politik untuk menjaga kepercayaan publik kepada Presiden.

Seperti mafia impor alat kesehatan yang disinggung Erick, mereka ini bisa disebut pengkhianat bangsa. Situasi krisis ini dimanfaatkan mafia, yang logikanya tentu melibatkan birokrasi.

Erick telah membuka itu. Selain tetap konsentrasi pada penanggulangan Covid-19 dan menyiapkan jaring pengaman sosial bagi masyarakat terdampak, membabat habis pemburu rente menemukan momentumnya. Saatnya penegak hukum, atau mungkin saja Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini seperti kehilangan orientasi, bisa berkontribusi mengintai kelompok kepentingan pemburu fulus yang memanfaatkan krisis. Korupsi di saat bencana bisa diancam hukuman mati!

Jiwa gotong royong yang sudah terbangun dan menguatnya soliditas keindonesiaan janganlah sampai ambyar oleh mafia dan perilaku aji mumpung. Kepemimpinan kuat dan kedisiplinan rakyat mengikuti protokol akan menentukan masa depan Indonesia pasca-Covid-19. Kepercayaan publik harus terus dijaga!

Artikel ini telah tayang di KOMPAS Sabtu, 18-04-2020. Halaman: 02

Penulis : Laura-Elvina

Sumber : Kompas TV


TERBARU