> >

Surat Terbuka untuk DPR di Tengah Pandemi Corona - Opini Budiman Eps. 5

Berita kompas tv | 14 April 2020, 22:41 WIB

Judul Asli: Surat untuk Yang Terhormat

Oleh: Budiman Tanuredjo

Sahabat saya, seorang aktivis, mengirim pesan melalui aplikasi pesan singkat pada hari Jumat Agung, 10 April 2020.

Pesannya berbunyi demikian: ”Selamat merayakan Jumat Agung dan Paskah. Paskah dalam situasi yang sungguh memprihatinkan.”

Saya jawab, ”Terima kasih. Ini refleksi yang luar biasa. Covid-19 memang mengubah semua tatanan, termasuk tradisi dan liturgi gereja.”

Dia pun menanggapi lagi. Presiden Joko Widodo sudah mendeklarasikan situasi darurat kesehatan nasional yang didasarkan pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan akhirnya memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Status itu sudah lama diminta oleh Anies.

Baca Juga: Anies Baswedan Yakin PSBB Berhasil, Jika Warga Disiplin

Namun, baru beberapa hari lalu dikabulkan dan diberlakukan mulai 10 April 2020. Jumlah kasus positif terpapar Covid-19 paling banyak berada di Jakarta.

Aktivis itu lalu mengirim pesan lagi: ”Mengapa Yang Terhormat anggota DPR itu kok malah mewacanakan hal-hal yang kontroversial. Mau mengesahkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), mau membahas RUU omnibus law Cipta Kerja, lah. Mau merevisi UU Mahkamah Konstitusi. Mengapa DPR tak segera membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang terkait dengan pandemik Covid-19.”

Pandangan aktivis itu menemukan kebenarannya. Yang Terhormat wakil rakyat ini seperti teralienasi dari kepentingan rakyat. Yang Terhormat berpikir linear dan legalistik.

Bahkan, di daerah, seperti di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sikap arogan ditunjukkan sejumlah anggota DPRD ketika petugas dinas kesehatan setempat ingin memeriksa kesehatan mereka.

Baca Juga: Anggota DPRD Blora Tolak Cek Kesehatan dengan Alasan Dirinya Setingkat Bupati

Saat rakyat dan bangsa ini tercekam ketakutan, berada dalam kecemasan, berada dalam situasi penuh ketidakpastian, ketika para dokter dan petugas media berjibaku melawan Covid-19, Yang Terhormat justru memproduksi tindakan politik kontroversial.

Membahas untuk mengesahkan RKUHP— yang pengesahannya dimintakan Presiden Joko Widodo untuk ditunda September 2019— pada saat sekarang ini tidaklah bijaksana.

Pembahasan RKUHP membutuhkan konsultasi publik yang meluas.

Masalahnya, apakah pembahasan RKUHP yang membutuhkan konsultasi publik luas tepat dilaksanakan saat sekarang ini di tengah pandemi Covid-19?

Bisa dimengerti bahwa ambisi seorang menteri kehakiman adalah mengegolkan RKUHP untuk menggantikan KUHP peninggalan kolonial.

Sejak saya menjadi wartawan di lapangan, hampir semua menteri kehakiman, mulai dari Menkeh Ismail Saleh, punya ambisi mengesahkan RKUHP.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly hampir saja meraih ambisi itu.

Namun, ambisi tersebut terkendala ketika unjuk rasa besar menentang RKUHP akhir tahun lalu menggagalkan pengesahan RUU itu.

Kendati mimpi itu belum terwujud, tetaplah harus sabar. Bersabar sejenak menunggu badai pandemi mereda sambil menyelami suara nurani rakyatnya.

Gagasan membahas RUU Cipta Kerja yang juga kontroversi tidaklah tepat waktu.

Baca Juga: Ada Apa Dengan Omnibus Law, RUU Cipta Kerja, dan Hak Buruh?

RUU sapu jagat—karena begitu ambisinya para drafter sehingga mau mengatur semuanya—betul-betul mengharuskan pelibatan publik yang meluas. RUU Cipta Kerja tak mungkin dibahas asal-asalan dan hanya mengundang serikat pekerja melalui rapat virtual.

Itu pasti tidak akan efektif. RUU Cipta Kerja tetaplah membutuhkan rapat maraton karena semua asumsi yang digunakan saat menyusun draf RUU Cipta Kerja tersebut pasti sudah berubah dengan adanya pandemi Covid-19.

Tidak perlu lagi mengejar target 100 hari rampung! Itu tak masuk akal.

Selain agenda pembahasan RUU itu, sejumlah anggota DPR berencana merevisi UU Mahkamah Konstitusi.

Usia hakim konstitusi mau dinaikkan menjadi 70 tahun. Jumlah anggota komisi etik dikabarkan hanya dua orang. Entah apa lagi manuver politik anggota DPR itu.

Manuver ini jelas mengundang curiga. Tak pernah ada wacana merevisi UU Mahkamah Konstitusi.

Sekarang, Komisi III DPR dikabarkan akan membahasnya. Kontroversi pun terjadi. Ingatlah sejarah.

Dua hakim Mahkamah Konstitusi pernah masuk bui karena korupsi. Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.

Artinya, jika benar ada gagasan mengurangi jumlah anggota komisi etik menjadi dua orang, tentunya itu juga gagasan keblinger.

Sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang konstitusi, keblinger tetaplah butuh pengawasan.

Rasa-rasanya, sebagian anggota DPR kian terpisah dari rakyatnya, dilihat dari tindakan-tindakan politik mereka.

Sebanyak 575 anggota DPR menyandang status wakil rakyat dan mendapat sebutan Yang Terhormat karena rakyat yang memilihnya.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Pelaksanaan Pilkada 2020 Ditunda

Tanpa rakyat yang memilih mereka, tak mungkin ada DPR. Begitu pula sebenarnya dengan Dewan Perwakilan Daerah yang tak terdengar kiprahnya.

Benar judul berita di halaman politik harian Kompas, 6 April 2010; saatnya DPR berbela rasa kepada rakyatnya.

Perlu ada keberpihakan kepada rakyat. Perlu ada compassion kepada rakyat yang sedang susah. Perlu ada compassion kepada petugas medis yang setiap hari berjibaku mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Berbela rasa DPR cukup dengan menunda membahas RUU kontroversial yang bisa memancing unjuk rasa.

Ketika unjuk rasa terjadi, PSBB pasti akan menjadi berantakan. Tidak elok jika ada pandangan DPR justru memanfaatkan situasi publik yang tak menentu dengan mengegolkan RUU kontroversial.

Sikap itu sangat tidak bijaksana. Bersabarlah Yang Terhormat. Tetap fokuslah pada penanganan Covid-19. Temanilah para pemilihmu yang telah mengantarkanmu ke Senayan.

Artikel ini telah tayang di KOMPAS Sabtu, 11-04-2020. Halaman: 02, Kolom Politik

Penulis : Idham-Saputra

Sumber : Kompas TV


TERBARU