Ekonom : Sri Mulyani Menkeu Lagi
Berita kompas tv | 22 Oktober 2019, 14:29 WIBPresiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Sri Mulyani untuk tetap menjadi Menteri Keuangan di Kabinet Kerja II.
“Bapak Presiden (Jokowi) meminta saya tetap menjadi Menteri Keuangan. Saya dapat kehormatan menjadi Menteri Keuangan untuk terus mendorong dan meningkatkan ekonomi Indonesia,” ujar Sri Mulyani, usai menemui Jokowi, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia yang akrab disapa Ani ini menjelaskan bahwa dirinya akan membantu presiden dan bersinergi dengan kementerian terkait.
Terutama Menko bidang perekonomian, menteri perdagangan, menteri perindustrian, dan kementerian lainnya.
“Saya bersama menteri terkait diminta untuk meningkatkan ekonomi Indonesia yang lebih baik,” katanya.
Ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira menanggapi Sri Mulyani yang kembali ditunjuk Jokowi jadi Menteri Keuangan.
Menurut Bhima, jika benar Sri Mulyani bakal menjadi Menkeu di kabinet kerja II, maka ia harus perbaiki pengelolaan utang agar semakin produktif.
Soal utang yang jadi kekhawtiran bukan rasio utang yang masih dibawah 60 % tapi pertumbuhan utang tiap tahunnya tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
“Rata-rata pertumbuhan utang pemerintah di periode I Jokowi adalah 11,7 % tiap tahunnya. Sementara pertumbuhan ekonomi 5-5,1%. Jadi ada yang putus korelasi utang dan pertumbuhan ekonomi,” ujar Bhima, saat dihubungi reporter Kompas tv.
“Kalau habisnya untuk belanja konsumtif, wajar utangnya kurang produktif,” Bhima menegaskan.
Bhima juga mempertanyakan, apakah tepat disaat ekonomi sedang melambat iuran BPJS mau dinaikkan.
Kemudian subsidi listrik 900 VA (Volt Amphere) mau dikurangi juga dengan subsidi BBM.
APBN yang harusnya counter cylical diperlukan sebagai bantalan agar daya beli tidak terjun bebas.
“Kalau pencabutan aneka subsidi tetap dipaksakan sangat mungkin ekonomi tumbuh di bawah 5 %,” tutur Bhima.
Selain itu, lanjut Bhima, reformasi perpajakan harus terus berjalan mulai dari up grading sistem IT perpajakannya, kualitas sumber daya manusia, hingga arah penegakan aturan perpajakan yang lebih ketat ke para konglomerat.
“Setelah tax amnesty tahun 2017 kan harusnya sekarang menegakan aturan perpajakan. Ini yang masih kurang sehingga ke depan Indonesia bisa lepas dari rasio pajak stagnan di 11 %, dan menyalip negara tetangga di ASEAN lainnya,” ungkap Bhima.
Penulis : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV