> >

Eks Ketua MK soal Relasi Negara dan Agama: Ada Persoalan, tapi Temukan Titik Temu karena Sains

Humaniora | 27 Desember 2024, 21:45 WIB
Seminar Nasional, Milad ke-15 dan Pelantikan Majelis Pengurus Nasional (MPN) Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) periode 2025-2029 di Jakarta, Kamis (26/12/2024).  (Sumber: Dokumen HISSI)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Relasi negara dan agama sering menimbulkan persoalan bahkan ketegangan. Misalnya, karena perdebatan ideologi soal cita-cita mendirikan negara agama, isu mayoritas dan minoritas, hingga persoalan pendirian rumah ibadah.

Namun, relasi tersebut sering menemukan titik temu dan kompromi karena pendekatan sains, bukan dogma.

Hal itu disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva dalam Seminar Nasional Milad ke-15 dan Pelantikan Majelis Pengurus Nasional (MPN) Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) periode 2025-2029 di Jakarta, Kamis (26/12/2024).

Hingga saat ini, kata Hamdan, masih tersisa perdebatan ideologi mengenai cita-cita seperti mendirikan negara Islam, terdapatnya ekspresi keagamaan atau keyakinan yang menimbulkan benturan sosial, serta isu mayoritas dan minoritas dalam persoalan peribadatan dan pendirian rumah ibadah.

“Meski isu relasi agama dan negara menemukan titik temu dan kompromi, karena memang pendekatannya sains, tidak lagi pengajuan yang basisnya dogmatis maupun penolakan yang sifatnya apologetik,” katanya. 

Baca Juga: Desa Moderasi Beragama, Wujudkan Solidaritas Kemajemukan

Dia menambahkan, peran negara dalam pemenuhan hak-hak konstitusional keagamaan warga negara memiliki dua pola yakni negara bersikap aktif dan negara bersikap pasif.

Model yang tertuang dalam UUD 1945 ini pada akhirnya menghasilkan format relasi negara dan agama yang kompromistis.

Dalam relasi dengan agama, Hamdan mengatakan, negara tampil dengan dua wajah yakni aktif dan pasif.

“Negara berperan aktif saat negara menjadikan seluruh peraturan perundang-undangan didasari pada sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.

Sedangkan negara berperan pasif, kata Hamdan, saat negara memastikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinan, agama dan kepercayaan.

“Pasal 29 (2) dan Pasal 28E ayat (1). Serta hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan sikap dan pikiran sesuai hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2). Pada poin ini negara bersikap pasif,” tegas Hamdan.

Sementara menurut guru besar hukum tata negara Universitas Pembangunan Veteran (UPN) Jakarta, Wicipto Setiadi, Indonesia negara berketuhanan yang berlandaskan Pancasila yang menjadikan agama sebagai sumber nilai dalam berbangsa dan bernegara.

“Indonesia negara hukum yang bercirikan khas Pancasila yang ciri pokoknya adalah kebebasan beragama sebagaimana disebut dalam sila pertama Pancasila,” tegas Wicipto.

Baca Juga: Menag Ucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru, Tegaskan Toleransi Beragama dan Tebar Cinta Kasih

Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU