Cerita di Zaman Revolusi: Para Pemuda Pembangkang di Sekolah Jepang
Humaniora | 4 Agustus 2024, 05:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Bulan Agustus merupakan momen memperingati hari kemerdekaan, yang puncaknya dirayakan pada 17 Agustus. Namun hari-hari di seputar kemerdekaan, sebelum atau sesudah proklamasi dibacakan, bukan semata cerita tentang pertempuran heroik yang sering dinamakan zaman revolusi. Tapi juga berisi kisah-kisah lucu, haru dan tentu saja penuh ketegangan.
Ada beberapa buku yang dituliskan oleh para pelaku yang hidup dan mengalami zaman tersebut. Misalnya wartawan senior Rosihan Anwar menuliskannya dalam "Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi" (Pustaka Jaya, 1976). Atau H. Soebagijo I.N, wartawan Antara, yang menuturkannya dalam buku "Pengalaman Masa Revolusi, " (Pustaka Jaya, 1982).
Baca Juga: Sisi Lain Indonesia setelah Revolusi Kemerdekaan: Penyakit Sifilis Meningkat
Dalam satu kisahnya, Soebagijo menuliskan di masa zaman Jepang, beberapa bulan sebelum kemerdekaan. Misalnya, para pelajar yang masuk di sekolah Ika Dai Gakku (Sekolah Tinggi Kedokteran), mulai menampakkan beberapa pembangkangan.
Mereka tidak mau digunduli kepalanya. Kemudian para pelajar Koottoo Shihan Gakko (Sekolah Guru Tinggi) yang terletak di Pegangsaan Timur 17 Jakarta, juga menolak digunduli hingga kabur dari asrama. "Antara enam puluh dan tujuh puluh orang pemuda pelajar, meninggalkan asrama beramai-ramai," tulis Soebagijo. Hal ini tentu saja membuat pusing para pengajar Jepang.
Sebenarnya kabur dari asrama adalah tindakan puncak karena mereka merasa diperlakukan sangat tidak manusiawi. Misalnya, jatah makan dikurangi sementara mereka harus bekerja keras membantu kepentingan Jepang seperti mengangkut gula, beras dan kayu di tangsi. Mereka juga harus memotong rumput di di lapangan terbang Kemayoran dan mengangkat bambu di Kali Ciliwung dekat Manggarai.
Namun pembangakan yang terbilang berat adalah ketika para pemuda itu menolak saikere, yaitu membungkuk ke arah Tokyo, menghormat Tenno Heika. Pembangkangan itu terutama dipelopori oleh para pengurus pelajaran agama yang diketuai oleh Anton Timur Djaelani (setelah kemerdekaan Anton menjadi Kepala Direktorat Perguruan Tinggi Departemen Agama).
Namun yang memberi fatwa agar jangan membungkuk dengan cara itu, kata Soebagijo, adalah Haji Abdulkarim Amrullah, ayah dari Hamka. Saat itu, Haji Abdulkarim tinggal di Tanah Abang, karena pernah dibuang Belanda dari Sumatera Barat ke Sukabumi, Jawa Barat.
Para pemuda pembangkang ini, biasanya melakukan saikere tanpa dikomando. Setiap kali upacara pada pagi hari, ketika sebagian pelajar membungkuk sejumlah anak muda ini tetap menegakkan kepala. Meski tidak memakan korban, namun para guru Jepang (Shidokan) akhirnya mengetahui pula perilaku mereka. Dengan wajah merengut, guru itu hanya mengumpat, "Kokoro warui" artinya hati jahat.
Baca Juga: Cak Imin soal Para Guru Besar Kirim Petisi ke Jokowi: Kalau Diabaikan, Bisa Terulang Revolusi 1998
Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV