Deputi Hukum Ganjar-Mahfud Sebut Penafsiran Kecurangan TSM dalam UU Pemilu Sangat Sempit
Politik | 13 Maret 2024, 20:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Penafsiran mengenai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sangat sempit karena hanya membahas tentang politik uang atau money politics.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Deputi Hukum pasangan calon presiden-wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Rabu (13/3/2024) membahas tentang gugatan sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi.
“Kalau kita melihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, penafiran TSM itu sangat sempit, hanya money politics,” tuturnya.
“Tapi kan terkait persoalan sengketa pilpres yang kita jadikan sebagai bahan untuk debat hari ini, itu persoalan yang sangat prinsipil. Kita mesti membaca Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945.”
Baca Juga: TPN Ganjar-Mahfud Siapkan Bukti dan Saksi Demi Layangkan Gugatan Pemilu ke MK
Ia menegaskan, jika hanya mengacu pada UU nomor 7 tahun 2017, itu sangat sempit, sehingga setiap sengketa pilpres yang diajukan ke MK berdasarkan pasal 22 e UUD 1945.
“Setiap sengketa pilpres yang diajukan ke MK itu didasarkan pada Pasal 22e UUD 1945, yang mengharuskan pemilihan umum itu dilakukan dengan jujur, adil, langsung, umum, dan bebas, rahasia.”
“Nah di sinilah inti dari persoalan yang kita hadapi. Kita tidak mau itu hanya sebatas money politics, kita tidak mau sengketa itu hanya soal perolehan suara,” tegasnya.
Perolehan suara yang diraih pada pemilihan umum 14 Februari 2024, menurut dia ditentukan oleh yang terjadi sebelum pencoblosan.
“Jadi perolehan suara yang kita dapat tanggal 14 Februari 2024 ketika rakyat pemilih itu datang berbondong-bondong ke TPS, itu kan semua ditentukan oleh apa yang terjadi sebelum pencoblosan,” ucapnya menegaskan.
“Apakah itu pada masa kampanye, mungkin juga jauh sebelum masa kampanye itu sudah bisa dibuktkan.”
Jadi, lanjut Todung, ini yang sebetulnya menjadi tantangan MK untuk betul-betul melihat secara jernih di esensi dari sengketa pilpres yang sedang dihadapi ini.
Sebelumnya, dalam dialog yang sama, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Habiburokhman, jika berbicara soal TSM atau terstruktur, sistematis, dan masif, ada dua hal besar yang menurutnya perlu digarisbawahi.
“Pertama, sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 7 tahun 2017, jelas rezim TSM itu menjadi obyek dari Bawaslu.”
“Lalu praktik terhadap apa yang diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 adalah sengketa Pilpres tahun 2019, di mana waktu itu kami sebagai pihak pemohon,” jelasnya.
Baca Juga: Senyum Gibran Tanggapi Isu Peluang jadi Ketum Golkar
Ia menuturkan, saat itu pihaknya mengajukan argumentasi yang kurang lebih sama seperti disampaikan oleh kubu lain pada saat ini, dan gugatan itu ditolak.
“Jadi kalau kita melihat undang-undang itu satu aturan tertulisnya, kedua praktiknya. Aturan tertulisnya itu UU nomor 7 Tahun 2017, yang kedua praktik terhadapaturan itu, yatu PKPU Pilpres tahun 2019.”
“Dua-duanya menegaskan bahwa kalau TSM itu pengaturannya dan penindakannya sudah dialihkan ke Bawaslu,” kata dia.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV