> >

Bivitri Berharap MKMK Tegas Nyatakan Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Bermasalah

Hukum | 3 November 2023, 21:42 WIB
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terdiri dari hakim konstitusi aktif Wahiduddin Adams (kiri), pendiri MK Jimly Asshiddiqie (tengah) selaku perwakilan tokoh masyarakat, dan eks anggota Dewan Etik MK Bintan Saragih (kanan) selaku perwakilan akademisi, saat sidang perdana MKMK beragendakan klarifikasi para pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, Kamis (26/10/2023). (Sumber: KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti berharap agar Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bermasalah.

Bivitri menerangkan, pihaknya menyadari bahwa putusan MKMK yang sedang memproses laporan terkait dugaan pelanggaran etik para hakim MK itu tak bisa memutus putusan terkait batas usia calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres).

Akan tetapi, ia menyatakan para akademisi hukum sedang mencari cara agar putusan MKMK ini berindikasi terhadap putusan MK secara tidak langsung.

"Kami memang sedang mencarikan suatu cara supaya, ada indikasi dari putusan MKMK ini terhadap putusan 90, tidak dengan cara langsung, memang tidak bisa, paling tidak ada pernyataan yang tegas bahwa putusan 90 ini bermasalah karena ada benturan kepentingan," tegas Bivitri di program Kompas Petang, Kompas TV, Jumat (3/11/2023).

Soal tudingan adanya upaya menjegal bacawapres Prabowo Subianto, yakni Gibran Rakabuming Raka yang diuntungkan dari putusan MK terkait batas usia capres-cawapres itu, Bivitri menegaskan bahwa persoalan MK lebih besar daripada itu.

"Bagi kami persoalannya bukan sekadar ingin menjegal Gibran atau siapa pun, tapi persoalan bahwa MK itu sudah dirusak cara dia bekerja dan perannya dan bahkan tugas konstitusionalnya itu sudah rusak dengan adanya putusan 90 ini," tuturnya.

Baca Juga: Pakar Hukum Tegaskan 3 Kejanggalan Besar dalam Putusan MK Terkait Batas Usia Capres-Cawapres

Ia menegaskan, tujuan para pelapor dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi ke MKMK adalah untuk menyatakan bahwa MK harus memeriksa ulang putusannya terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Ia pun menyebutkan tiga kejanggalan besar yang memengaruhi putusan MK:

Pertama, hak mengajukan gugatan (legal standing) pemohon yang tidak biasa. Bivitri menerangkan, MK biasanya sangat ketat dalam hal melihat legal standing  dari pemohon.

"Biasanya MK itu ketatnya luar biasa, sekarang bagaimana bisa seseorang yang mengidolakan Gibran Rakabuming itu diakui legal standingnya? Nah itu saja udah janggal," jelasnya.

Kedua, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu sempat ditarik, namun kembali masuk saat akhir pekan dan langsung dibahas MK.

"Biasanya MK itu sangat strict (ketat), kalau ada perkara yang sudah ditarik, dia akan berhenti memeriksa," jelas Bivitri.

Baca Juga: Ketua MKMK Ungkap Hasil Pemeriksaan 3 Hakim MK: Banyak Sekali Masalah yang Kami Temukan

"Nah ini pada weekend (akhir pekan) hari Sabtu, perkaranya dimasukkan lagi dan langsung dibahas, tidak ada penetapan penarikan putusan," sambung Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu.

Ketiga, ia menjelaskan, ada dua pendapat hakim yang sebenarnya menolak, tapi dianggap menerima gugatan yang diajukan oleh mahasiswa asal Kota Solo bernama Almas Tsaqib Birru, yang ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota.

"Yang 5 itu kan sebenarnya 2 putusannya atau 2 pendapat concurring opinion, yaitu alasan berbeda tapi ujungnya dianggap sama, nah anggapan sama itu keliru," tegas Bivitri.

"Kalau dibaca pelan-pelan, yang 2 ini sebenarnya lebih menolak bukan menerima," sambungnya.

Baca Juga: Dituding Lakukan Operasi Rahasia Jegal Gibran, Pakar Hukum: Tujuan Kami Demokrasi Beradab

Sebagai informasi, hanya 3 hakim konstitusi yang menyetujui gugatan Perkara No 90/PUU-XXI/2023, yaitu Anwar Usman (Ketua merangkap Anggota), M. Guntur Hamzah (Anggota),bdan Manahan M.P. Sitompul (Anggota).

Sementara itu, 2 orang Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda (concurring opinion), yaitu Enny Nurbaningsih (Anggota) dan Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota)

Empat Hakim Konstitusi tegas menolak atau menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas gugatan untuk menurunkan batas usia capres-cawapres tersebut, yaitu Wahiduddin Adams (Anggota), Saldi Isra (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Suhartoyo (Anggota).

Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Pasal tersebut melancarkan pencalonan Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka, yang notabene keponakan Ketua MK Anwar Usman, sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo Subianto.

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU