4 Hakim MK Beda Pendapat soal Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK, Ada Saldi Isra
Hukum | 26 Mei 2023, 11:15 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.
"Kemudian menyatakan Pasal 34 UU KPK yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan,” kata Ketua MK Anwar Usman dikutip dari situs resmi MKRI, Kamis (25/5/2023) .
Namun dari sembilan hakim MK, empat di antaranya menyatakan tidak sependapat alias dissenting opinion. Mereka adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Suhartoyo. Para hakim yang berbeda pendapat ini memberi argumen bahwa alasan penambahan masa jabatan tidak beralasan menurut hukum.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat petitum pemohoan yang memohon kepada Mahkamah untuk memaknai norma Pasal 34 UU 30/2022 menjadi pimpinan KPK memegang jabatan selama 5 tahun adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Enny Nurbaningsih saat membacakan putusan MK.
Baca Juga: Ketua MK Ditangkap KPK, Kisah Tahun 2013 yang Mencoreng Wajah Mahkamah Konstitusi
Bahkan, keempat hakim itu menilai argumentasi Ghufron sama sekali tidak menyinggung kaitan masa jabatan pimpinan di dalam konteks kelembagaan KPK.
Ghufron mendalilkan bahwa masa jabatan pimpinan yang lebih singkat dibandingkan lembaga lain berdampak pada munculnya anggapan kedudukan KPK lebih rendah dari lembaga lainnya. Tapi argumen ini dibantah, sebab hal itu hanya asumsi belaka dan tidak ditopang oleh bukti yang cukup dan meyakinkan.
Profil Hakim MK yang Beda Pendapat
1.Wahiduddin Adams
Mengawali kariernya di dunia birokrasi di Kementerian Hukum dan HAM. Pria kelahiran Palembang, 17 Januari 1954 ini, lulusan Peradilan Islam, Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Bak haus akan ilmu, Wahid tidak menghentikan pendidikannya sampai di situ. Ia melanjutkan sekolahnya sampai meraih gelar doktor di universitas yang sama. Wahid bahkan memparipurnakan pendidikannya dengan mengambil program S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi meraih gelar SH (sarjana hukum) tahun 2005 setelah ia meraih gelar doktor.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV