Pakar Hukum Tata Negara NIlai Kasus Pelanggaran HAM Mentok di Kejaksaan, Alasannya Kurang Bukti
Hukum | 21 Januari 2023, 06:35 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Langkah pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu dipengadilan masih disangsikan.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menjelaskan laporan Komnas HAM sudah cukup banyak menyertakan bukti adanya pelanggaran HAM. Namun laporan tersebut mentok di Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan alasan tidak cukup bukti.
Menurut Bivitri hal ini yang membuat kasus-kasus pelanggaran HAM tidak masuk ke pengadilan karena sudah dimentahkan oleh Kejaksaan sebagai penuntut umum.
"Kalau bukti tidak cukup bisa dites di pengadilan bukan di tangan jaksa, nah ini belum dites sama sekali bukti-bukti itu," ujar Bivitri di program Dua Arah Pelanggaran HAM Cukup Diakui dan Disesali, Jumat (20/1/2023) malam.
Baca Juga: Janji Jokowi: 4 Perintah Presiden Soal Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Bivitri juga mengingatkan dalam rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) tidak ada rekonsiliasi. Sebab pengungkapan kebenaran belum terjadi.
Namun saat ini pemerintah malah melakukan pemberian kerahiman. Padahal jika berbicara rekonsiliasi harus dimulai dari pengungkapan kebenaran.
"Dari pengungkapan kebenaran kemudian terjadi rekonsiliasi antara pelaku korban dan sebagainya, baru tahap berikutnya ada restitusi, rehabilitasi, penggantian kerugian. Nah proses pengungkapan kebenaran ini belum pernah terjadi," ujar Bivitri.
Senada dengan Bivitri, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai kejaksaan bisa melakukan langkah penyelidikan untuk menguatkan bukti yang sudah ada.
Baca Juga: Pemerintah Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, SETARA Sesalkan Tidak Ada Pengungkapan Kebenaran
Namun langkah penyelidikan dan penyidikan terkait kasus pelanggaran HAM di masa lalu hingga saat ini belum dilakukan.
"Sebelum dibawa ke pengadilan ada kewenangan penyidik seperti penyitaan, penggeledahan dan pemanggilan paksa. Pernah tidak ada penyitaan barang dari kantor yang terduga pelaku. Pernah tidak ada penggeledahan, pemanggilan paksa itu tidak pernah dipakai," ujar Isnur.
Isnur menambahkan dalam catatannya seringkali pendekatan pemerintah dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu dilakukan dengan pola-pola pemberian kerahiman atau islah. Hal ini agar korban atau keluarga korban tidak melanjutkan tuntutan.
Jika pola ini terus berlanjut maka, bisa saja pelanggaran HAM tidak masuk ke pengadilan, namun selesai di tahap dasar dengan pemberian kerahiman dan pola lain yang serupa.
Baca Juga: PBB Sambut Baik Pengakuan Presiden Joko Widodo atas Pelanggaran HAM, Desak Langkah Nyata bagi Korban
"Jadi korban meyakini inilah cara untuk tidak meneruskan yudisialnya. Itu yang di beberapa peristiwa terjadi," ujarnya.
"Kalau ada penyelesaian, ada pemberian tanpa ada suatu keadilan itu suatu yang ilusi," sambung Isnur.
Di kesempatan yang sama Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Mugiyanto menegaskan kata-kata kerohiman tidak ada dalam pernyataan Presiden Jokowi saat menerima rekomendasi tim PPHAM.
Pemerintah mengikuti prinsip internasional sehingga istilah yang dipakai adalah pemulihan. Pemulihan ini bukan diwujudkan dengan bantuan.
Mugiyanto menjelaskan langkah non-yudisial yang saat ini ditempuh bukan berarti tidak membawa kasus pelanggaran HAM ke yudisial.
Presiden Jokowi sudah menjamin akan membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan dan ditegaskan kembali oleh Menkopolhukam Mahfud MD.
Menurut Mugiyanto mekanisme non-yudisial dikerjakan karena pemerintah ingin memprioritaskan korban.
"Karena ada urgensi karena korban yang terlalu lama menunggu," ujar Mugiyanto.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV