Duduk Perkara Uji Materiil UU Pemilu di MK Terkait Wacana Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Rumah pemilu | 9 Januari 2023, 15:07 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Belakangan ini wacana sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup menjadi perbincangan hangat publik, terutama di kalangan pegiat politik.
Delapan partai politik di pemerintahan menentang wacana tersebut. Delapan pihak yang menolak itu terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendukung wacana sistem pemilu proporsional tertutup.
Berdasarkan informasi yang dihimpun KOMPAS.TV dari situs Mahkamah Konstitusi (MK), perkara pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945 itu diajukan pada 14 November 2022.
Dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut.
Mereka adalah Pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono, anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Hal itu disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022).
Baca Juga: Siang Ini Mahkamah Konstitusi Gelar Sidang Kedua Uji Materiil UU Pemilu, Acara Perbaikan Permohonan
Para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.
Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon, pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.
Sistem pemulu proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persangan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Seharusnya, kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu.
Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV/Mahkamah Konstitusi