Ibu Tien Soeharto, Konsisten Berkebaya dari Remaja hingga Jadi Isteri Penguasa
Gaya hidup | 8 November 2022, 10:29 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- "Kebaya merah" viral namun dengan narasa negatif, yaitu dekat dengan pornografi. Padahal kebaya adalah pakaian khas perempuan Indonesia, salah satunya dipakai oleh Ibu Tien Soeharto.
Nama Ibu Tien Soeharto terkenal bukan hanya sebagai isteri Soeharto, Presiden kedua yang berkuasa selama 32 tahun, tapi juga cara berpakaiannya yang ikonik. Dalam berbagai pose dan kegiatan, sosok perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923 ini, sebagian besar tampil berkebaya lengkap dengan selendangnya.
Rupanya, kebiasaan ini sudah dijalaninya sejak remaja. Mengutip laman perpustakaan nasional, perempuan bernama lengkap Siti Hartinah, sudah berkebaya sejak remaja
Baca Juga: Dua Pemeran dalam Video Asusila Kebaya Merah Ditangkap di Surabaya
"Selama bersekolah ia selalu memakai kebaya, bukan memakai rok. Hanya pada kegiatan kepanduan JPO (Javaanche Padvinder Organisatie) ia diizinkan orangtuanya memakai rok, pakaian seragam JPO. Karena rajin mengikuti latihan-latihan di JPO, akhirnya dalam dirinya tumbuh tunas-tunas idealisme yang terus berkembang. Fungsi kepanduan yang universal adalah pembinaan budi pekerti, watak, dan karakter sejak usia muda, disiplin dan solidaritas serta tolong menolong, saling hormat menghormati serta saling menyayangi," demikian laman itu menuliskan.
Rupanya, kebiasaan berkebaya tidak hilang meski sudah bersuami seorang tentara, Soeharto. Bahkan kebiasaan ini terus dibawa hingga sang suami menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Tradisi dan budaya Jawa adalah salah satu faktor yang paling kuat mempengaruhinya.
Ayahnya seorang Wadana Wonogiri menanamkan sikap seorang perempuan Jawa. Meski sebagai perempuan, dia tak bisa meraih cita-cita yang diinginkannya.
"Keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan cita-cita menjadi seorang dokter memang tidak tercapai. Tetapi, dengan mengalihkan kegiatan-kegiatan lainnya seperti membatik, belajar menari dan menyanyi tembang Jawa, menulis syair, ternyata memenuhi dorongan dan tuntutan jiwa remajanya. Yang tidak terjadi barangkali jatuh cinta. Ia tidak mengalami jatuh cinta sebagaimana remaja lainnya," demikian perpustakaan nasional memberikan catatan.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV