> >

Tradisi Sekura, Pesta Topeng Khas Lampung Tak Kalah Menarik dari Halloween, Ajang Silaturahmi

Budaya | 31 Oktober 2022, 10:11 WIB
Suasana silaturahim Idul Fitri di Lampung Barat yang dikemas dalam pesta sekura di Desa Kenali, Kecamatan Belalau, Lampung Barat, Sabtu (18/7/2015).  Tradisi sekura diturunkan sejak abad ke-9 saat terjadi perang saudara antara pengikut Ratu Sekerumong dan pengikut Maulana Penggalang Paksi. (Sumber: KOMPAS/ANGGER PUTRANTO)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Tradisi Halloween yang dilaksanakan setiap 30 Oktober menelan korban di Itaweon, Korea Selatan, dengan 153 nyawa melayang. Tradisi masyarakat Barat yang kemudian merebak ke berbagai belahan dunia itu, juga dirayakan di Indonesia meski dalam jumlah terbatas.

Perayaan dengan ciri khas topeng dan kostum seram itu, dijadikan ajang untuk berkumpul, bernyanyi dan menari.

Namun, Indonesia sebenarnya memiliki kekayan budaya yang tak kalah menarik dibandingkan Hallooween, bahkan bisa disebut lebih punya nilai budaya karena dilaksanakan untuk ajang bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Itulah  tradisi Sekura, yang dirayakan oleh masyarakat Lampung Barat.

Baca Juga: Kesaksian Tragedi Halloween Itaewon : Musik Kencang, Terjebak, Orang-orang Tetap Berpesta!

Mengutip majalah anak-anak Bobo, kabarnya sekuraan sudah ada sejak zaman Kerajaan Skala Beghak (Sekala Brak) yang dipimpin oleh Raja Buay Tumi. Masyarakat Buay Tumi adalah suku Lampung yang paling awal mendiami tanah Lampung, tepatnya di lereng Gunung Pesagi, dekat Danau Ranau.
 
Sebagai masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme, pada masa itu sekuraan dilakukan untuk memanggil roh-roh nenek moyang pada saat pesta panen. 
 
Pada abad ke-13, ketika beberapa tokoh penyebar agama Islam dari Pagaruyung berhasil menundukkan Kerajaan Buay Tumi, sekuraan berkembang menjadi kesenian rakyat enam hari setelah Lebaran.  

"Bukan hanya sebagai ajang silaturahim biasa, tetapi juga sekura dijadikan sebagai alat berkumpul untuk saling memaafkan satu sama lain karena waktu pelaksanaannya yang berada di bulan Syawal, selain itu juga bagi kami pelaku, Tradisi Sekura bertujuan untuk memberikan kesenangan dan tontonan bagi orang-orang yang datang dari kampung atau daerah lain," kata Yoan Ristama, Dosen Program Studi (Prodi) Pendidikan Musik Universitas Lampung, dilansir dari Antara, Selasa 3 Mei 2022 silam.

 

Sekarang, selain untuk hiburan, sekuraan juga dipentaskan untuk memeriahkan festival budaya di Lampung. Seperti, Festival Teluk Semaka,  Festival Teluk Stabas, Festival Danau Ranau, Festival Krakatau, dan


Menurut Yoan, ada dua jenis Sekura, yaitu Sekura Kamak dan Betik. Sekura Kamak secara fisik terlihat berantakan, kotor dan tidak rapi, serta rupa topeng terbuat dari kayu, sabut, serat dalam buah timput yang sudah tua dan terkadang juga memakai sobekan kain yang dibentuk sedemikian rupa untuk menutupi wajah. 

Sekura ini kemudian dihiasi dengan pakaian berantakan bahkan ditambah potongan ranting di badan. "Sebaliknya, Sekura betik secara fisik terlihat bersih dan rapi, pakai kain dibentuk untuk menutup badan seluruhnya," kata dia. 

Ia mengatakan dalam pelaksanaannya peserta Sekura akan berpenampilan mengikuti karakter kehidupan manusia seperti binatang dan makhluk lainnya dengan memakai penutup wajah atau topeng.

Baca Juga: Apa Itu Cardiac Arrest atau Henti Jantung? Diduga Penyebab Korban Tewas di Tragedi Halloween Itaewon

"Dalam kacamata saya, di situ ada topeng dan karakter berbentuk orang tua, perempuan hamil, binatang, anak kecil, dan lainnya adalah ingin menunjukkan berbagai karakter kehidupan manusia dan kebiasaan masyarakat, nah karakter-karakter yang dipakai ini sebenarnya juga mewakili kehidupan dari manusia dan makhluk lainnya," katanya.


 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/ANTARA


TERBARU