ICW: Pemerintah Lemahkan Efek Jera Bagi Pelaku Korupsi Melalui RKUHP
Peristiwa | 2 Agustus 2022, 15:12 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemerintah semakin melemahkan penegakan hukum bagi pelaku korupsi melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Penilaian itu disampaikan oleh Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya kepada KOMPAS TV, Selasa (2/8/2022).
“Alih-alih mendorong efektifitas efek jera bagi pelaku korupsi, melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pemerintah justru kian melemahkannya,” kata Kurnia.
“Setelah mempreteli habis-habisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, kali ini pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi tertuang dalam naskah RKUHP.”
Baca Juga: RKUHP Atur Sanksi Hukum untuk Perzinaan, Kumpul Kebo Juga Dibui
Kurnia mengatakan, di luar substansinya, proses pembahasan RKUHP dilakukan tertutup karena naskahnya sempat tidak disampaikan kepada masyarakat.
Sehingga, wajar jika kemudian muncul prasangka buruk kepada pembentuk undang-undang.
“Sebab, praktik serupa juga pernah terjadi dalam pembahasan peraturan perundang-undangan lain, satu diataranya revisi UU KPK pada tahun 2019 lalu,” ucap Kurnia.
Menurut Kurnia, penting untuk ditekankan, jika naskah RKUHP tidak disosialisasikan kepada masyarakat, maka jelas bahwa pemerintah serta DPR telah menabrak UU dan jauh melenceng dari mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Azyumardi Azra: Pasal-Pasal di RKUHP Banyak yang Mencerminkan Neokonservatisme
Adapun regulasi yang diabaikan adalah Pasal 96 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terkait hak masyarakat untuk memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Sederhananya, bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi jika naskah RKUHP sempat lama sulit diakses? Pada waktu bersamaan, pemerintah dan DPR justru menyepakati bahwa dalam beberapa bulan mendatang RKUHP akan segera diundangkan,” ujar Kurnia.
Tidak cukup itu, bahkan, pembentuk UU mengabaikan perintah MK, tepatnya putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Seperti diketahui, urgensi partisipasi masyarakat atau biasa disebut sebagai perwujudan nilai demokrasi dalam proses pembentukan UU telah ditegaskan MK dengan penyebutan meaningful participation.
Baca Juga: RKUHP Atur Sanksi Pihak yang Abaikan Wajib Bela Negara, Mulai Penjara hingga Denda Rp500 Juta
Istilah itu merujuk pada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi oleh pembentuk UU dalam lingkup partisipasi masyarakat, diantaranya, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
“Dalam kaitan dengan hal tersebut, jika tidak ingin dituding melanggar aturan formil, maka pembentuk UU harus segera mensosialisasikan naskah RKUHP secara keseluruhan untuk mendengar dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat,” kata Kurnia.
“Mirisnya lagi, isu pemberantasan korupsi kian terpinggirkan. Jika dilihat dari pernyataan pemerintah, pembentuk UU tidak memasukkan klausula pasal antikorupsi dalam 14 isu krusial. Padahal, substansi aturan antikorupsi masih dipenuhi dengan sejumlah persoalan.”
Baca Juga: Draf RKUHP Hukum 12 Tahun Penjara, dari Pejabat hingga Pengurus Panti Sosial yang Berbuat Cabul
Di luar itu, tim perumus RKUHP juga tidak konsisten, sebab, pada waktu yang lalu, Prof Eddy OS Hiariej, sebelum menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, sempat mengatakan bahwa delik korupsi hanya sebagai core crime dan sekadar bridging article semata.
“Secara sederhana, hal itu berarti bahwa RKUHP hanya mendefinisikan perbuatan korupsi, tanpa melampirkan usulan perubahan pemidanaan,” ucap Kurnia.
“Namun yang terjadi justru sebaliknya. Draft yang ada berpotensi mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.”
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV