Luhut Usul Tarif Masuk Borobudur Rp750 Ribu, Politikus PDIP: Masyarakat Miskin Enggak Mampu Bayar
Politik | 6 Juni 2022, 12:08 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus menilai rencana Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menaikkan tarif tiket masuk Candi Borobudur menjadi Rp750.000 cenderung komersial
Artinya, kebijakan tersebut mendiskriminasi orang miskin untuk berwisata ke situs warisan dunia.
“Orang miskin tidak akan mampu bayar harga tiket setinggi itu, apalagi bila datang dengan keluarga. Harga tiket itu bisa lebih besar dari UMR buruh bila berkunjung dengan keluarga,” ucap Deddy dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/6/2022).
“Lalu apakah orang miskin tidak berhak untuk naik dan menikmati Candi Borobudur? Saya heran, kalau pakai prinsip konservasi yang dipakai, harusnya yang dibatasi jumlah orangnya saja, dan bukan kemampuan keuangannya,” tambahnya.
Baca Juga: Kenaikan Harga Tiket Borobudur Picu Kebingungan, Dianggap Terburu-buru
Di samping itu, kata Deddy, tarif tersebut bahkan jauh lebih tinggi jika dibanding kan dengan harga tiket masuk ke sejumlah lokasi wisata bersejarah di negara lain.
Misal ke situs Accropolis dan 5 situs lainnya Yunani, total tiketnya hanya dibandrol dengan harga €30 atau sekitar Rp464.000.
Kemudian, sambung Deddy, situs warisan dunia yang ada di Italia, Collosseum, Forum, dan Palatio, tiket masuknya hanya seharga €18 atau sekitar Rp278.000.
Lalu, situs terkenal lain di dunia yaitu Piramida Giza di Mesir dan Taj Mahal di India yang tiket masuknya hanya sebesar $25 - $30 atau sekitar Rp360.000-433.000 dan harga tersebut sudah termasuk paket pemandu atau layanan foto.
Baca Juga: Alami Vandalisme Hingga Pelapukan, Pemerintah akan Kucurkan Rp6,8 T Untuk Menata Borobudur
“Sementara tiket mas Rp.750.000 yang disampaikan itu hanya untuk naik ke atas Candi Borobusur. Ini siksaan dan ketidakadilan bagi rakyat kecil dan berpotensi memberikan berdampak negatif terhadap jumlah pengunjung ke Borobudur,” kata Deddy.
“Dampaknya nanti justru rakyat sekitar kawasan Candi Borobudur akan kehilangan pendapatan yang signifikan,” tambahnya.
Atas dasar itu, Deddy berharap kebijakan tersebut dibatalkan karena terlalu berbau komersialisasi, tidak berkeadilan, dan berpotensi menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
“Bahkan bila nanti diubah menjadi BLU pun, kebijakan harga itu sangat tidak lantas,” ujarnya.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV