Formula E: Menuju Jakarta Nol Emisi Karbon
Indepth | 20 Mei 2022, 13:38 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Jakarta E-Prix 2022 akan digelar kurang dari sebulan lagi. Sebanyak 22 pembalap akan mengaspal di Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) yang berlokasi di kawasan Ancol, Jakarta Utara, 4 Juni 2022 mendatang.
Sirkuit sepanjang 2,4 kilometer dengan 18 tikungan ini dibangun hanya dalam tempo 60 hari. Alhasil, sirkuit ini pun mendulang pujian khalayak dan disebut sebagai sirkuit dengan pembangunan tercepat di dunia.
“Proyek sirkuit ini, sampai saat ini, yang paling tercepat dibangun di dunia dengan trek permanen hanya 60 hari dari awal pembangunan,” ujar Jakarta EPrix Operation Manager, Nuno Fernandez, dalam cuklipan video yang diunggah ke media sosial beberapa waktu lalu.
Ajang balap mobil listrik ini juga disebut akan menjadi standar baru tentang bagaimana ajang sportainment dapat digelar berkelanjutan di Indonesia.
Senior Sustainability Manager FIA Formula E London, Iona Neilson, dalam sebuah acara webinar mengatakan, sejak hadir 2014 lalu Formula E menjadi ajang balap otomotif pertama di dunia yang berprinsip bebas emisi.
“Formula E bisa menjadi platform yang sangat baik untuk meningkatkan kesadaran soal keberlanjutan dan energi terbarukan kepada para penonton dan para penggemar,” tutur Iona pada webinar series Net Zero Sport Emission Race bertajuk ‘Worlds First: Season 8 - Jakarta E-Prix: Sustainability Perspective’ beberapa waktu lalu.
Melalui Formula E, FIA ingin meningkatkan kesadaran bahwa kendaraan listrik mampu mengurangi emisi sehingga dapat meningkatkan kualitas udara. Kemunculan ide mengenai Formula E didasari kekhawatiran CEO Formula E, Alejandro Agag, terkait perubahan iklim. Sejak itu, ia ingin mengkombinasikan motorsport dengan konsep keberlanjutan agar dapat berkontribusi nyata melestarikan dunia bagi generasi selanjutnya.
Sebagaimana tertulis di laman resmi FIA Formula E, semua bermula sejak Maret 2011, ketika Agag dan Presiden FIA Jean Todt bertemu di sebuah restoran di Paris. Dalam pertemuan ini, pendiri Formula E sudah punya misi jelas, menciptakan balapan di jalan-jalan kota paling ikonik di dunia. Bukan hanya itu, ia juga ingin mempromosikan kendaraan listrik yang mengusung energi berkelanjutan untuk masa depan yang lebih bersih.
Setelah melalui berbagai pengembangan, ajang balap Formula E pertama digelar di Olympic Park Beijing pada 2014. Mobil balap Gen1 saat itu menggunakan teknologi baterai listrik yang belum pernah dicoba di trek balap sebelumnya. Sejak saat itu, Formula E dinilai memimpin pergeseran kendaraan berbahan bakar bensin (BBM) ke kendaraan berbahan bakar listrik untuk energi berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Ketua Pelaksana Formula E: Kami Harap BUMN Bisa Berikan Sponsor
Target Jakarta Nol Emisi Karbon 2050
Sejak mengaspal pertama kali, ajang balap Formula E terus tumbuh dalam kancah sportainment dan menjadi olahraga pertama yang memiliki jejak nol emisi karbon sejak awal. Semangat tersebut yang turut dibawa pada ajang balap mobil listrik di Jakarta. Gelaran ini selaras dengan target Jakarta mencapai net zero emission atau nol emisi karbon pada 2050 seperti yang dipaparkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Sektor transportasi menghasilkan hasil gas rumah kaca terbesar. Dan kota-kota saat ini di seluruh dunia menghadapi hal yang sama," kata Anies dalam diskusi daring Jakarta E-Mobility, Selasa (1/3/2022) lalu.
DKI Jakarta sendiri menempati peringkat 12 besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia berdasarkan laporan perusahaan teknologi bidang kualitas udara, IQAir, Maret 2022. Konsentrasi polusi udara di Jakarta pada 2021 mencapai 39,2 g/m3 atau tujuh kali lebih besar dari pedoman yang ditetapkan World Health Organization (WHO).
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, juga menyebut kegiatan balap Formula E sesungguhnya merupakan komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam ikhtiar birukan langit Jakarta atau menekan polusi udara Jakarta. Salah satunya dengan mengganti kendaraan BBM menjadi kendaraan bertenaga listrik.
“Jadi, kami ingin udara ini bersih dan sehat, salah satunya nanti ke depan menggunakan mobil listrik,” kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, beberapa waktu lalu.
Riza menjelaskan, sumbangsih terbesar polusi udara di Jakarta adalah akibat asap kendaraan. Salah satu langkah yang dilakukan oleh Pemprov DKI dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan meluncurkan 30 bus listrik Transjakarta yang beroperasi mulai Maret 2022 lalu. Nantinya Pemprov DKI berencana mengganti 50 persen armada bus Transjakarta menjadi kendaraan listrik pada 2025.
Secara bertahap program ini tidak hanya menyasar transportasi umum tetapi juga kendaraan pribadi masyarakat hingga mobil-mobil dinas pemerintah. Mobil listrik sebagai kendaraan bebas emisi yang menggunakan energi terbarukan tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga dipercaya menjadi solusi bagi pengurangan polusi karbon di Jakarta.
Selain itu, Pemprov DKI juga telah merilis tiga kebijakan terkait upaya menekan polusi di Jakarta. Kebijakan tersebut antara lain; pembatasan usia kendaraan, pembebasan pajak BBN (Bea Balik Nama) untuk kendaraan listrik berbasisi baterai, hingga kewajiban uji emisi motor dan mobil.
Baca Juga: Jakpro Klaim Tiket VIP Formula E Sudah Ludes Terjual, Pembeli Paling Banyak Warga Asing
Peran Mobil Listrik Kurangi Emisi Karbon
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, mengaku setuju ajang Formula E akan menjadi pemantik bagi masyarakat untuk beralih ke kendaraan rendah emisi. Meski demikian, ia turut menyadariajang tersebut juga tidak akan serta merta menurunkan kadar emisi di Jakarta.
“Jadi, balapan itu sendiri sudah tidak mengeluarkan emisi, itu satu, yang kedua seperti yang saya katakan tadi, ini adalah momentum pemicu untuk kita semua segera bergeser dari kendaraan konvensional yang sangat polutif dan boros energi ke kendaraan listrik yang nol emisi karbon,” kata Safrudin saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Safrudin menilai, penggunaan kendaraan listrik khususnya di Jakarta dinilai genting mengingat kadar polusi udara terbilang tinggi. Angka tersebut disumbang oleh penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar bensin yang memicu pemanasan global dan krisis iklim yang mengkhawatirkan.
“Bahkan kalau kita tidak lakukan sesuatu untuk menurunkan pengunaan energi fosil, maka tahun 2100 temperatur atmoster kita akan naik 3,5 derajat celcius bahkan lebih,” kata Safrudin.
Senada dengan Safrudin, Pengamat Lingkungan Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, menyebut bahwa pergeseran transportasi listrik akan berdampak positif dan besar terhadap beban pencemaran udara di Jakarta. Perhitungan Tarsoen mengungkapkan pengurangan polusi udara akan menjadi efektif bila setidaknya 25 persen kendaraan di Jakarta sudah beralih ke energi listrik.
Saat ini, kata Tarsoen, ada kurang lebih 11,7 juta unit kendaraan di Jakarta. Sementara kendaraan yang beroperasi di Jakarta dalam 24 jam tercatat kurang lebih 23,5 juta unit.
“Maka, untuk mencapai 25 persen, jumlah kendaraan yang beralih bahan bakar ke energi listrik sebanyak 5,9 juta kendaraan, demikian halnya untuk mencapai 50 persen kendaraan yang beralih ke energi listrik sebanyak 11,8 juta kendaraan, sedangkan untuk mencapai target 100 persen berarti seluruh kendaraan yang masuk DKI Jakarta harus menggunakan energi listrik (23,5 juta) kendaraan,” kata Tarsoen.
Tarsoen menambahkan, menggelar ajang Formula E dapat dianggap sebagai langkah yang tepat untuk mengenalkan kendaraan listrik ke masyarakat luas. Namun, jika pelaksanaannya tidak serius dan tidak diikuti oleh kebijakan atau perundangan yang lebih serius maka hasilnya akan nol.
“Karena Formula (motor balap) sekarang di Indonesia sedang tren, seperti di Mandalika, sehingga bisa memberikan perhatian terhadap pemilik kendaraan untuk merubah bahan bakarnya dari fosil ke listrik,” ujarnya.
Baca Juga: Keberadaan Sponsor Formula E Dipertanyakan, Ini Jawaban Ahmad Sahroni
Standar Karbon dan Insentif Fiskal
Peralihan menuju kendaraan listrik tidak tanpa kendala. Wakil Gubernur DKI Riza Patria, menyebut meski Pemprov DKI sudah berkomitmen untuk beralih ke kendaraan listik, tetapi harga mobil listrik masih terlampau mahal bagi masyarakat umum.
“Harga mobil listrik itu jauh sekali, masih mahal, masih tinggi, perlu proses,” kata Riza.
Safrudin turut mengamini hal tersebut. Menurut dia, pertimbangan masyarakat sangat sederhana, yakni apakah harga mobil listrik terjangkau?
Kendaraan berbahan bakar bensin 2.000 CC dibanderol dengan harga Rp350 juta, sementara kendaraan listrik yang setara yakni dengan tenaga 135 KW saat ini harganya masih di atas Rp700 juta. Harga yang terpaut jauh ini tentu menyebabkan kendaraan listrik sulit dijangkau sebagian besar kelompok masyarakat. Untuk mempersempit perbedaan harga, Safrudin menyarankan kebijakan insentif fiskal dengan menggunakan acuan standar karbon.
Jika pemerintah menetapkan standar karbon kendaraan maksimum 120gr/km, jelas Safrudin, maka kendaraan BBM dengan karbon sebesar 200gr/km otomatis melebihi batas senilai 80gr/km. Kelebihan ini akan dikenakan pinalti hukum dalam bentuk cukai mengacu pada nilai teknologi emisi karbon yaitu Rp2.250.000 pergram.
Kelebihan karbon sebesar 80gr/km tersebut akan dikalikan Rp2.250 juta, lalu hasilnya ditambahkan ke harga jual di pasaran. Jika harga jual Rp350 juta, maka akan ditambah Rp180 juta sehingga harga jual menjadi Rp530 juta.
Sebaliknya, kendaraan listrik dengan tenaga 135Kw akan mengeluarkan karbon sebesar 60gr/km. Angka ini berada di bawah ambang batas standar karbon 120gr/km sebesar 60gr/km, maka kendaraan ini berhak mendapatkan insentif sebesar 60 dikali Rp2.250 juta yakni sebesar Rp135 juta. Jika harga per unit Rp700 juta, maka akan dikurangi insentif sebesar Rp135 juta, lalu harga jual di pasaran menjadi Rp565 juta.
“Saat ini, kan, harga kendaraan listrik tidak terjangkau, jadi dengan insentif fiskal akan menciptakan daya saing bagi kendaraan listrik di pasaran, inilah yang masyarakat tunggu,” kata Safrudin.
Menurut Safrudin, tanpa ada standar karbon dan perubahan kebijakan fiskal, maka industri kendaraan listrik tidak akan maju.
Pemprov DKI di bawah arahan Anies Baswedan sebetulnya pernah merilis sejumlah kebijakan terkait dengan insentif bagi kendaraan listrik. Kebijakan tersebut pertama kali dikeluarkan pada 2020 melalui Peraturan Gubernur No. 3 Tahun 2020 mengenai kebijakan insentif Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) atas Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
Baca Juga: Digelar 16 Hari Lagi, Ini Penampakan Sirkuit Formula E
Formula E dan Komitmen Ramah Lingkungan
Promosi energi bersih dalam Formula E memerlukan komitmen yang serius. Salah satu hal yang dilakukan agar ajang tersebut ramah lingkungan adalah sirkuit Formula E akan menggunakan energi bersih tanpa batu bara. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjamin, pasokan listrik untuk ajang balap tersebut tidak menggunakan BBM atau bahan bakar fosil.
General Manager PLN UID Jakarta Raya, Doddy B. Pagaribuan, mengatakan suplai listrik PLN untuk Formula E akan menggunakan energi panas bumi dan tenaga air ramah lingkungan.
“Jadi tidak pakai bahan bakar minyak (BBM),” ujar Doddy di Jakarta Utara beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Doddy mengatakan, energi bersih yang digunakan balap listrik Formula E juga sudah mengantongi sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC) dari Amerika Serikat. Doddy juga memastikan, pasokan listrik untuk Formula E 2022 tidak akan menganggu aliran listrik masyarakat Jakarta.
Sementara itu, Vice President Infrastructure & General Affairs OC Jakarta EPrix 2022, Irawan Sucahyono, menyebut promosi kesadaran ramah lingkungan juga akan menyasar hal-hal kecil.
“Contohnya, kami (pengelola) tak lagi menjual makanan dengan pembungkus seperti styrofoam dan mengimbau soal penggunaan botol air,” kata Irawan dalam keterangan resminya, Selasa (10/5/22) lalu.
Irawan menambahkan, keseluruhan acara didesain dengan memperhatikan konsep ramah lingkungan. Misalnya, kata dia, penyelenggara tidak melakukan penebangan pohon saat membangun sirkuit, melainkan memindahkannya.
“Formula E ini adalah masa depan dari motorsport. Ini green motorsports. Jadi, mungkin nanti dunia balapnya akan berubah semua menjadi seperti ini. Nah, Indonesia sebagai salah satu tuan rumah Formula E memang sangat beruntung,” kata Irawan.
Penulis : Hasya Nindita Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV