> >

Yusril: Hanya Ada 3 Cara untuk Menunda Pemilu 2024

Politik | 28 Februari 2022, 15:16 WIB
Kuasa hukum pasangan Joko Widodo-Maruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, saat ditemui di kantornya, Kasablanka Office Tower, Jakarta, Jumat (12/7/2019). (Sumber: (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO))

JAKARTA, KOMPAS TV - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyebut, hanya terdapat tiga cara yang mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi untuk melakukan penundaan gelaran Pemilu 2024 mendatang. 

Ia menjelaskan, pertama yaitu melakukan amendemen UUD 1945; Presiden mengeluarkan dekrit; dan menciptakan konvensi ketatanegaraan.

"Saya berpendapat, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara: (1) Amendemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara," kata Yusril kepada KOMPAS TV, Senin (28/2/2022). 

Baca Juga: Faldo Maldini Tepis Transaksi Politik di Balik Usulan Pemilu 2024 Ditunda: Jangan Seret Pemerintah

Ketiga cara ini, kata Yusril, sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku.

Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945. 

"Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak perlu saya uraikan di sini."

"Apa yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum," ujarnya.

Baca Juga: Pengamat Politik: Penundaan Pemilu dapat Mengarah ke Perubahan Konstitusi soal Pemilihan Presiden

Sementara, Pasal 22E UUD 1945 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma pelaksanaa Pemilu.

“Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu." 

"Ayat (8) semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum," katanya.

Menurut dia, dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 1945 itu, tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 

"Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu."

"Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. 
Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru," kata dia.

Baca Juga: Pengamat Politik Sayangkan Ketua PBNU Sebut Penundaan Pemilu 2024 Masuk Akal

Selain itu, di luar mengubah UUD 1945 adalah dengan cara Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu. 

Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Mengutip pernyataam Professor Ivor Jennings revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, menciptakan hukum yang sah. 

"Tetapi sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang."

"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945?" katanya. 

Baca Juga: PDIP Sebut Wacana Penundaan Pemilu yang Diusul PKB Melanggar Konstitusi

Ketua Umum PBB itu menambahkan, Presiden Soekarno dahulu pernah mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. 

"Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau negara dalam keadaan bahaya, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI."

Penulis : Fadel Prayoga Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU