Kasus Korupsi Satelit Kemhan, Jaksa Agung: Ada Tindak Pidana yang Dilakukan dari Unsur TNI dan Sipil
Hukum | 14 Februari 2022, 23:35 WIBBaca Juga: Jaksa Agung Minta Kasus Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Perlu Diproses Hukum, Ini Syaratnya
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit tersebut.
Apabila tidak dipenuhi, maka hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lalu memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Permintaan itu yakni mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Baca Juga: Ryamizard Buka Suara Soal Satelit Kemhan, Mengaku Diperintah Presiden Selamatkan Orbit 123 BT
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater atau satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015.
Meskipun, persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo itu baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.
Namun, pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Lalu, pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Baca Juga: Panglima TNI Andika Perkasa Ungkap ada Indikasi Awal Prajurit TNI Terlibat Proyek Satelit Kemhan
Namun ternyata, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," tuturnya.
Untuk membangun Satkomhan, kata Mahfud, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya juga belum tersedia.
Sedangkan pada 2016, anggaran telah tersedia, namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Baca Juga: Kader Tersangka Teroris, Partai Ummat Beri Bantuan Hukum
Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
"Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," ujarnya.
Selain itu, kata Mahfud, pemerintah juga menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan pemerintah diharuskan membayar USD20,9 juta.
"Yang USD20 juta ini nilainya mencapai Rp304 miliar," ujarnya.
Baca Juga: Viral Awan Hitam seperti Ombak di Langit Pelabuhan Merak, Ini Penjelasan BMKG
Mahfud pun memperkirakan angka kerugian ini akan bertambah besar karena masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.
Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV