Profil Gus Yahya Cholil Staquf, Putra Pendiri PKB dan Calon Kuat Ketum PBNU
Sosok | 23 Desember 2021, 15:04 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - KH Yahya Cholil Staquf atau biasa Gus Yahya merupakan salah satu kader NU yang kini mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU dalam Muktamar di Lampung, 22-23 Desember 2021.
Lantas, siapakah sosok yang biasa disapa Gus Yahya itu?
Gus Yahya lahir pada tahun 16 Februari 1966 dan merupakan tokoh Nahdlatul Ulama dari kota Rembang, Jawa Timur.
Beliau juga mengasuh pondok pesantren Raudlatul Thalibin, Leteh, Rembang.
Panggilan ‘Gus’ setelah namanya sendiri adalah panggilan khas dari Pesantren untuk memanggil nama anak seorang kiai atau pengasuh pesantren.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Yahya tumbuh di lingkungan yang lengket dengan organisasi NU.
Ayahnya adalah tokoh NU yang disegani bernama KH Cholil Bisri. Bersama Gus Dur, KH Cholil Bisri adalah pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Gus Yahya juga keponakan dari ulama Kharismatis dari NU, KH Mustofa Bisri, atau biasa disapa Gus Mus. Sedangkan adiknya, Yaqut C. Qoumas adalah Menteri Agama yang baru dilantik Jokowi menggantikan Fachrul Rozi.
Gus Yahya sendiri sedari kecil belajar di Pesantren, bermula dari Pendidikan formal di Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang, Jawa Tengah.
Lalu berlanjut ke Pondok Pesantren KH Ali Maksum di Krapyak, Yogyakarta. Saat itu ia juga kuliah di Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Baca Juga: Berebut Gus Dur di Muktamar: Gus Yahya Menghidupkan, Said Aqil Melanjutkan
Meniru dan Jadi Jubir Gus Gur
Saat Gus Dur menjadi presiden keempat, Gus Yahya diberi amanah sebagai Juru Bicara Presiden (Jubir).
Sosok yang juga terkenal lewat tulisan dan cerita-cerita lucu bertajuk Terong Gosong pada 2018-2019, diberi amanah sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menggantikan KH Hasyim Muzadi yang wafat.
Salah satu yang menonjol dari Gus Yahya adalah kegemarannya untuk menjumpai tokoh-tokoh dunia.
Ia beralasan, silaturrahim itu memberi tahu publik internasional tentang konsep Islam yang kerap disalahpahami seperti bahwa Islam itu agama teror, Islam itu identik dengan kekerasan, Islam itu memusuhi agama-agama lain dan seterusnya.
Nama Gus Yahya membetot pandangan publik tatkala ia menghadiri undangan dari American Jewish Committee (AJ) dan berbicara tentang resolusi konflik antar agama.
Ia pun kerap berjumpa dengan beberapa tokoh agama seperti Paus Franciscus.
Selain itu, ia banyak sekali mengkader ulama-ulama dan aktivis di Nahdlatul Ulama. Kegemarannya untuk silaturrahim ini tak pelak membuat banyak orang teringat sosok Gus Dur yang juga gemar safari dan berjumpa banyak orang untuk bicara perdamaian.
Gus Yahya pun di publik internasional terkenal sebagai representasi Islam yang moderat.
Kegemarannya itu pula yang membuatnya menuai kontroversi karena memenuhi undangan untuk pergi ke Israel yang dilayangkan American Jewish Committee (AJC) Global Forum pada 2018 lalu.
Bagi sebagian kalangan, langkah itu dianggap tidak selaras dengan komitmen terhadap kemerdekaan Palestina.
Meski demikian, Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini beranggapan bahwa langkah itu selaras dengan yang pernah dilakukan Gus Dur, untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina lewat diplomasi segala cara.
Gus Dur sendiri pernah diundang oleh Forum Global AJC pada 2002 di Washington DC, Amerika Serikat.
Kekagumannya kepada Gus Dur pun menjadi jargonya maju sebagai calon Ketua UMUM PBNU: Menghidupkan Gur Dur. Itu kemudian dibukukan, Menghidupkan Gus Dur: Catatan Gus Yahya Kenangan Yahya Staquf oleh penulis kenamaan, AS Laksana.
Baca Juga: Gus Yahya Ajak Said Aqil Siradj Musyawarah Agar NU Tidak Terbelah
Pandangannya soal Politik dan NU
Sebenarnya, Gus Yahya bisa dibilang bukan politikus kemarin sore. Pada 31 Mei 2018, Presiden Joko Widodo melantik Yahya sebagai salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Jauh sebelumnya, Gus Yahya pernah menjadi juru bicara Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, presiden keempat RI.
Gus Yahya kerap menggaungkan soal khittah NU.
Saat ditanya jurnalis KOMPS.TV, Dedik Priyatno, soal bagaimana ia bisa tetap menjalankan konsep tersebut di tengah tarik-menarik politik yang kerap menyeret NU, Gus Yahya coba kembali ke tahun 1979 di Forum Muktamar ke-26 (Muktamar berlangsung di Semarang-red). Kata dia, di Muktamar itu adalah keputusan kembali ke khittah NU.
"Diartikan sebagai, prosesi withdrawl atau penarikan diri NU dari politik praktis. Perlu digaris bawahi, politik praktis. Bukan politik, titik," kata Gus Yahya.
Politik yang dimaksud Gus Yahya adalah politik praktis.
"Ya, kompetisi politik di pemilu, pemilihan pejabat dan seterusnya. Ini memang tema yang dibikin khas orde baru. Artinya apa? NU menarik diri dalam politik praktis, karena NU tidak lagi bisa beroperasi sebagai partai, sudah difungsikan di PPP," ujarnya.
Baginya, NU harus kembali jadi organisasi sosial keagamaan. Kembali ke khittah 1979. Khittah yang disebut-sebut Gus Yahya, bermakna jalan atau garis perjuangan NU.
Lebih lanjut, Gus Yahyah menjelaskan khittah NU yang dimaksud.
Pada Muktamar 1984 di Situbondo, kata dia, dirumuskanlah namanya Khittah Nahdliyah. Lalu diuraikan nilai prinsip dasar perjuangan atau disebut khittah NU.
Saat ditanya bagaiman dengan kondisi sekarang, dengan tarikan politik yang kian kencang dan selalu begitu tiap tahun, Gus Yahya lagi-lagi kembali ke Muktamar tahun 1989. Di muktamar itu dibuat keputusan tentang panduan berpolitik NU.
"Kalau PBNU tidak boleh ikut-ikutan. Kalau warga NU boleh dan bebas berpolitik asal bertanggung jawab," ujarnya.
"Itu prinsip yang sudah diputuskan sejak lama di NU," kata Gus Yahya.
Baca Juga: Wawancara Gus Yahya (Bag-1): Khittah NU Mengharuskan PBNU Tidak Berpolitik Praktis
Penulis : Hedi Basri Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV