LBH: Jenderal Andika Perkasa Dipilih Jokowi karena Faktor Mertua
Politik | 7 November 2021, 00:11 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI dikritik LBH Jakarta.
Menurut Direktur LBH Jakarta Arif Maulana, Jokowi memilih Jenderal Andika Perkasa karena ada kepentingan politik bukan berdasarkan strategis pertahanan.
Jokowi dinilai memiliki kedekatan khusus dengan mertua Jenderal Andika Perkasa, yakni Hendropriyono.
"Saya pikir masyarakat dapat menilai bahwa pencalonan KSAD Andika Perkasa sebagai Panglima TNI didasarkan pada pragmatis politik bukan alasan stategis pertahanan apalagi berbicara pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia," kata Arif kepada tim liputan KompasTV, Agi Kurniasandi dan Denny Yosua, Sabtu (6/11/2021).
Baca Juga: Profil Tiga Kandidat Kuat Pengganti Jenderal Andika Perkasa sebagai KSAD
"Kita tahu ada kedekatan khusus antara mertua calon panglima dengan partai maupun rezim pemerintahan yang berkuasa hari ini," tukasnya.
Sehingga, dengan dasar seperti itu, LBH Jakarta menilai Presiden Jokowi telah melanggar Undang-Undang TNI.
Karena, jika menilik Undang-Undang TNI seharusnya yang bergilir menjadi Panglima TNI bukan dari matra darat, melainkan dari matra laut.
"Ini disimpangi oleh Presiden Jokowi. Terlebih kalau kita melihat masa jabatan calon panglima tinggal satu tahun. Ini tentu tidak strategis bagi reformasi TNI ke depan," tutur Arif.
Selain itu, kritik LBH Jakarta juga mengarah kepada profil Jenderal Andika Perkasa yang memiliki rekam jejak buruk terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kepemilikan harta kekayaan yang fantastis.
"Ini tentu menjadi pertanyaan kita semua. Apakah seorang penyelenggara negara yang memiliki rekam jejak buruk nanti bisa memperbaiki institusi TNI? Yang memiliki banyak PR untuk mereformasi kelembagaannya."
Baca Juga: DPR Setujui Jenderal Andika Perkasa jadi Panglima TNI, Ini 8 Program Kerja yang Dipaparkan
Jangan sampai, lanjut Arif, terjadi impunitas yang difasilitasi oleh negara. "Penyelenggara yang tidak bersih akan memberikan efek buruk bagi institusinya."
"Saya kira ini menjadi preseden buruk, dan presiden tidak memiliki komitmen pemajuan hak asasi manusia dan demokrasi di negara ini," tutup Arif.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV