> >

Komnas Perempunan Catat 36.356 Kasus KDRT Selama 5 Tahun Terakhir, Kita Harus Apa?

Sosial | 27 September 2021, 14:29 WIB
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (Sumber: Shutterstock)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketua Sub Komisi Pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Dewi Kanti mengungkapkan bahwa ada 36.356 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama lima tahun terakhir.

Dewi menjelaskan, kekerasan terhadap istri menempati urutan pertama di kasus KDRT ranah personal, di mana kasusnya berada di atas 70 persen.

“Kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT ranah personal. Angka kekerasannya selalu berada di atas 70 persen,” kata Dewi Kunti, dikutip dari ANTARA, Senin (27/9/2021).

Baca Juga: Sang Istri Diduga Alami Tekanan Psikologis Hingga Keguguran, Oknum Kepala Dinas Dilaporkan KDRT

Dari 36.356 kasus, 10.669 kasus kekerasan yang terjadi menyerang ranah personal, meliputi kekerasa kekerasan terhadap istri, anak perempuan, pekerja rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan yang melibatkan relasi personal, seperti relasi mantan pacar atau mantan suami.

“Kekerasan personal yang paling minim adalah kekerasan terhadap pekerja rumah tangga,” jelasnya.

Dari banyaknya kasus KDRT yang terjadi selama lima tahun terakhir ini, apa yang harus dilakukan?

Dewi Kanti mengajak seluruh pihak terkait untuk melakukan refleksi terkait pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Sebab, menurutnya,  pelaksanaan Undang-Undang tersebut masih kurang efektif untuk memutuskan rantai kekerasan.

“Melalui proses refleksi ini, kita dapat bersama-sama menyusun langkah untuk memutus mata rantai kekerasan dan memulihkan korban,” tegasnya.

Baca Juga: Jonathan Frizzy Bawa Bukti Foto Saat Diperiksa Polisi, Kuasa Hukum: Dia Korban KDRT, Bukan Pelaku

Dewi tak menampik jika proses impementasi UU tersebut memang menemui banyak hambatan, seperti banyaknya korban yang mencabut laporan dan aduan KDRT, rancunya penafsiran Pasal 2 yang membahas lingkup rumah tangga, alat bukti, dan perbedaan perspektif aparat penegak hukum.

Tak hanya itu, pidana pembatasan hak-hak tertentu, pidana tambahan gerak pelaku, dan kewajiban pelaku untuk mengikuti program konseling juga belum dilakukan secara maksimal.

Terlebih, masih banyak masyarakat yang menganggap KDRT sebagai aib dan masalah pribadi yang tak boleh dibawa keluar rumah sehingga membuat implementasi UU tersebut terhambat.

Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/Antara


TERBARU