Moeldoko: Aku Ngopi Kenapa Ada yang Grogi, Politikus Demokrat: Bukan Grogi tapi Geli
Politik | 7 Februari 2021, 11:39 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Perseteruan Partai Demokrat dengan Kepala Staf Presiden Moeldoko tampaknya belum akan berakhir. Saling balas sindir di media sosial masih terjadi.
Dua hari lalu, Jumat (5/2/2021), Moeldoko mengeluarkan unggahannya di media sosial Instagram miliknya.
Moeldoko mengunggah foto dirinya berkaos putih dan berjaket kulit hitam sedang memegang cangkir kopi. Gambar tersebut dibubuhi tulisan, "Aku Ngopi-Ngopi, Kenapa Ada yang Grogi?"
Tak hanya itu, dia juga menulis caption di unggahan tersebut.
Saat sekumpulan laki laki menikmati kopi, pembicaraan bisa melebar dari soal joke ringan, pekerjaan, sosial, seni, olahraga, bahkan politik.
Setelah habis secangkir, kita bisa kembali ke pekerjaan masing-masing dimana semua sepakat "no hard feeling".
Ngopi membuka wawasan kita. Kenapa untuk ngopi saja, harus pakai lapor atau minta ijin. Toh menurut sebuah artikel di @natgeoindonesia “Minum Kopi Bermanfaat Bagi Pendengaran” a.k.a bisa mencegah gangguan pendengaran.
Baca Juga: Demokrat: Moeldoko Terlibat Aktif Kudeta PD, Jadi Bukan Masalah Internal
Politikus Demokrat Rachlanda Nashidik pun merespon unggahan tersebut melalui akun Twitter miliknya.
Rachland mengunggah foto Moeldoko akun Instagram, dengan menambahkan tuitan," Bukan grogi, tapi geli."
Rachland pun mencibir kegiatan Moeldoko yang disebut ngopi-ngopi itu.
"Orang lain ngopi pakai susu, Anda pakai bohong," tulisnya.
Kemudian, Rachland membandingkan antara Moeldoko dengan senior-senior TNI yang pernah terjun dalam berpolitik.
Jika para senior TNI memilih masuk partai, Moeldoko berbanding terbalik.
"Jenderal Edi Sudrajat, Jenderal Wiranto, Jenderal SBY, Jenderal Prabowo. Para seniornya pilih jalan terhormat dalam berpolitik, membuat partai dan berkeringat di dalamnya."
"Moeldoko kira ambil paksa Demokrat gampang. Dia salah," tukas Rachland.
Baca Juga: Demokrat: Moeldoko Jangan Catut Nama Luhut Binsar
Dengan ketiadaan sikap politik Presiden Joko Widodo dalam merespons cara yang ditempuh Moeldoko, Rachland menganggap kerugian bukan berada di pihak Demokrat.
Presiden Jokowi seharusnya memiliki keputusan yang kuat dan bermartabat, jauh dari keraguan dan kebingungan. Bukan hanya demi melindungi demokrasi, tapi juga kehormatan Istana.
"Pak Jokowi tak boleh cuci tangan. Presiden perlu memberi pesan kuat bahwa praktik ambil paksa partai politik itu salah."
Diingatkan Rachland, praktik ambil politik itu pernah dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan transformasi dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Presiden Jokowi merupakan kader partai PDIP.
"Maka seharusnya presiden tidak menolerir perbuatan yang sama atau meniru, yang dilakukan anak buahnya sendiri."
Baca Juga: Surat AHY Tak Berbalas, Demokrat: Itu Hak Presiden Jokowi, tapi Meninggalkan Teka-teki
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV