Apa Itu Omnibus Law yang Jadi Kontroversi hingga Buruh Menolak Mati-matian?
Peristiwa | 5 Oktober 2020, 11:08 WIBKOMPAS.TV - Pemerintah dan DPR telah menyepakati Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.
Sebelumnya saat rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan pemerintah, sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui, sedangkan dua partai menolak.
Sebanyak tujuh fraksi yang setuju RUU Cipta Kerja disahkan, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat menolak RUU tersebut.
Pembahasan RUU Cipta Kerja terbilang singkat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Terlebih lagi, RUU yang masuk omnibus law ini tetap dibahas meskipun di tengah pandemi virus corona.
Baca Juga: Jokowi Klaim Omnibus Law akan Buat Indonesia Bebas Korupsi
Apa Itu Omnibus Law?
Dalam beberapa waktu terakhir, omnibus law memicu banyak perdebatan di tingkat nasional.
Istilah omnibus law di Indonesia pertama kali akrab di telinga setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu.
Omnibus law ini sejatinya lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi.
Yang paling sering jadi polemik, yakni ombinibus law di sektor ketenagakerjaan yakni UU Cipta Lapangan kerja.
Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Artinya, omnibus law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat.
Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU cipta lapangan kerja, UU perpajakan, dan pemberdayaan UMKM.
Namun demikian, RUU Cipta Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik.
Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia.
Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja. Sejumlah serikat buruh bahkan akan menggelar aksi mogok kerja nasional pada 6 - 8 Oktober 2020 mendatang.
Baca Juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Gelar Mogok Kerja Nasional 6-8 Oktober 2020
Proses Cepat 'Kejar Tayang'
Pemerintah dan DPR juga dianggap kejar tayang menyelesaikan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
RUU ini digadang-gadang dapat menarik minat investor asing menanamkan modal di Tanah Air sehingga bisa mengatrol pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Dalam prosesnya, tak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya sebagaimana yang dibahas di DPR. Namun, isinya tegas mencabut atau mengubah beberapa UU yang terkait.
Sektor ketenagakerjaan menjadi salah satu yang diselesaikan melalui omnibus law.
Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah berencana menghapuskan, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, pemerintah merencanakan penghapusan skema pemutusan hubungan kerja (PHK), di mana terdapat penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial.
Baca Juga: Protes Tolak Omnibus Law, Jutaan Buruh akan Mogok Nasional 3 Hari
Fakta Omnibus Law
Berikut fakta-fakta omnibus law sebagaimana dikutip dari Kompas.com:
1. Jam lembur buruh lebih lama
Terdapat pengubahan beberapa ketentuan mengenai ketenagakerjaan untuk meningkatkan investasi dalam negeri, salah satunya jam lembur yang jauh lebih lama.
Pernyataan ini tertuang dalam omnibus law Bab IV soal Ketenagakerjaan pasal 78.
Dalam pasal tersebut disebutkan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu.
Sementara pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 78 Nomor 1 poin b menyebutkan bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu.
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV