10 Isu RUU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan Pekerja & Buruh
Politik | 4 Oktober 2020, 15:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan konfederasi lainnya menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cipta Kerja) yang disepakati DPR dan Pemerintah.
Terdapat 10 isu yang membuat KSPI dan konfederasi buruh lain menolak keras RUU Cipta Kerja.
“Sepuluh isu tersebut telah dibahas oleh pemerintah bersama Panja Baleg RUU Cipta Kerja DPR RI selama 5-7 hari dan sudah menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak. Semalam sudah diputuskan oleh pemerintah dan DPR untuk dibawa ke dalam rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang," ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan kepada wartawan, Minggu (5/10/2020).
Tiga isu pertama mengenai PHK, sanksi pidana bagi pengusaha, dan tenaga kerja asing (TKA). Said meminta kalimat ketiga isu yang ada di RUU Cipta Kerja ini dikembalikan lagi sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003.
Baca Juga: Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo Serukan Dukung Buruh Mogok Nasional Tolak RUU Cipta Kerja
Kemudian terdapat tujuh isu lainya yang dianggap merugikan buruh.
Pertama mengenai UMK bersyarat dan UMSK dihapus. Buruh menolak keras kesepakatan ini.
Menurut Said Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.
Jadi tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Karena kalau diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” lanjutnya.
Karena itu, UMSK harus tetap ada. Tetapi jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada keadilan.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Said Iqbal.
Kedua, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Said Iqbal mempertanyakan, dari mana BPJS mendapat sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 19 bulan upah dibayar pengusaha, dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan tidak masuk akal. Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan.
"Bisa dipastikan BPJS NAKER akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP pesangon dengan mengikuti skema ini atau dengan kata lain dibuat aturan baru skema pesangon untuk tidak bisa dilaksanakan di lapangan."
Ketiga, PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Buruh menolak PKWT seumur hidup.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV