Mengingat 7 September, Saat Pejuang Kemanusiaan Munir Ditiadakan
Hukum | 7 September 2020, 16:45 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Hari ini, 7 September 2020, 16 tahun sudah Munir meninggal dunia. Pejuang kemanusiaan ini meninggal dunia setelah diracun di atas pesawat Garuda Indonesia.
Saat itu Munir dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda. Munir akan meneruskan pendidikannya di jenjang S2. Dia berencana mengambil hukum humaniter, di Universitas Utrecht.
Sesaat sebelum lepas landas, Munir sempat mengirim pesan kepada kawannya, Rachland Nashidik dan Rusdi Marpaung (Ucok) yang merupakan Direktur Program Imparsial.
"Lan, Cok, aku berangkat, titip kantor dan anak istriku," tulis Munir.
Bernama lengkap, Munir Said Thalib, dia dinyatakan meninggal dunia di atas pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-974, 7 September 2004.
Sebelumnya, Munir merasa sakit perut, setelah minum jus jeruk. Beberapa kali dia harus ke toilet.
Munir sempat mendapat pertolongan dari seorang dokter yang berada dalam pesawat. Dia dipindahkan ke sebelah bangku dokter untuk mendapatkan perawatan.
Namun Munir tidak tertolong. Dia dinyatakan meninggal dunia pada pukul 08.10. Saat itu pesawat berada di ketinggian 4.000 kaki di atas Rumania dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda.
Pendiri Kontras dan Imparsial ini meninggal dua jam sebelum mendarat di Amsterdam.
Dua bulan setelah kematiannya, Kepolisian Belanda menemukan fakta Munir diracun setelah ditemukan adanya senyawa arsenik. Sebelumnya, Kepolisian Belanda sempat melakukan otopsi setelah jasad Munir tiba di Belanda.
Baca Juga: Dokumen TPF Pembunuhan Munir Hilang
Perkara Kematian Munir
Dengan dugaan adanya pembunuhan terhadap Munir, Mabes Polri melakukan penyelidikan.
Pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto dan Direktur Utama PT Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan, diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan pembunuhan aktivis HAM Munir.
Pollycarpus, dipidana 14 tahun penjara sebagai pelaku pembunuhan yang menaruh racun arsenik ke minuman Munir.
Pollycarpus merupakan pilot Garuda tersebut menumpang pesawat Garuda Indonesia kelas bisnis yang sama dengan Munir. Pollycarpus mengaku sebagai kru tambahan yang menumpang penerbangan Garuda Indonesia dari Jakarta-Singapura.
Sempat bertukar kursi dengan Munir sebelum kematiannya, Pollycarpus terlihat berinteraksi saat transit di Bandara Changi, Singapura.
Diketahui, pesawat sempat transit di Bandara Changi, Singapura, pada pukul 00.40 waktu setempat dan kembali melanjutkan penerbangan pada pukul 01.50.
Munir sempat terlihat seperti orang sakit setelah beberapa kali ke toilet. Itu setelah pesawat lepas landas dari transitnya di Bandara Changi, Singapura.
Sementara Indra Setiawan divonis satu tahun penjara. Indra dianggap terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir.
Namun dalam pleidoinya, Indra mengaku tak tahu apakah surat Badan Intelijen Negara (BIN) yang diterimanya pada Juni atau Juli 2004 itu bagian dari rencana pembunuhan atau bukan.
Dia hanya memahami bahwa surat tersebut merupakan surat resmi dari lembaga negara yang salah satunya bertugas mencegah ancaman teror.
Meski telah memvonis dua orang yang bertanggung jawab dalam kematian Munir, namun kasus ini belum dianggap terang. Karena aktor intelektual pembunuhan Munir belum terungkap dan tidak tersentuh.
"Kejanggalan kasus ini, pembunuhan berencana tapi yang dihukum aktor di lapangan. Penyuruhnya tidak ditindak, aktor intelektualnya tak disentuh," kata Mantan Ketua LBH Jakarta Alghifari Aqsa dikutip dari Kompas.com, 7 September 2019.
Dia mengatakan, pembunuhan Munir terlaksana karena ada dukungan negara atau orang yang berkuasa dan melibatkan intelijen.
Meski BIN mendapat sorotan dalam kasus pembunuhan Munir, namun belum ada pejabat lembaga itu yang dijerat kasus hukum.
Baca Juga: Munir, Melawan Lupa - SINGKAP
Sang Pejuang HAM
Munir, atau akrab disapa Cak Munir, memilih jalan sebagai pembela hak asasi manusia (HAM). Sederet perjuangannya tercatat dalam sejarah.
Tinta sejarah telah mencatat betapa gigihnya perjuangan Munir dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM besar. Dia pernah melawan Komando Daerah Militer V Brawijaya untuk memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan mati.
Dia juga menyelidiki kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada masa reformasi 1997-1998.
Sederet kasus pelanggaran HAM, seperti penembakan mahasiswa di Semanggi (1998-1999) hingga pelanggaran HAM masa referendum Timor Timur (1999) menjadi catatan sejarah atas perjuangan Munir.
Karena itu, ancaman dan teror sudah akrab buatnya.
Budiman Tanuredjo dalam artikelnya berjudul "Perginya Pahlawan Orang Hilang" yang dimuat di Harian Kompas pada 8 September 2004 mencatat, Munir pernah diancam akan dijadikan sosis oleh orang yang mengaku aparat keamanan saat membongkar kasus Marsinah.
Meski mendapat berbagai ancaman, bukan berarti dia adalah seorang pemberani. Munir dalam pengakuan, bukanlah seorang pemberani.
Dia hanya menafsirkan segala teror yang dialaminya dengan cara yang berbeda. "Teror itu tergantung penafsiran kita sendiri," kata Munir.
"Kalau saya bilang saya dan keluarga takut, berarti si peneror berhasil menjalankan tugasnya," ucapnya.
Berkat perjuangan menegakkan hak asasi manusia, Munir pernah meraih The Right Livelihood Award dari Yayasan Livelihood Award Jakob von Uexull, Stockholm, Swedia (2000).
Dari penghargaan itu, Munir mendapat uang ratusan juta rupiah. Menariknya, uang itu dia serahkan kepada Kontras dan ibundanya.
Munir juga pernah dinobatkan majalah Asiaweek sebagai salah satu dari 20 Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (1999).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Mengenang 16 Tahun Wafatnya Munir, Pejuang Kemanusiaan
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV