Ada China di Antara Amerika Serikat dan Iran
Opini | 22 Januari 2020, 18:41 WIBOleh Trias Kuncahyono
Pembunuhan terhadap Komandan Pasukan al-Quds, Korp Garda Revolusi Republik Iran, Jenderal Qassem Soleimani, memunculkan rentetan dampak.
Ketegangan antara Amerika Serikat, pembunuh Soleimani, dan Iran tidak berhenti dengan penembakan rudal oleh Iran terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Irak: pangkalan udara Ain al-Assad di Propinsi Anbar, Irak barat dan di Erbil, ibu kota semi-otonomi Kurdistan. Akan tetapi, melebar ke mana-mana.
Iran bertekad mengusir kehadiran kekuatan Amerika Serikat, tidak hanya di Irak (yang sudah disepakati oleh parlemen Irak, meskipun tidak mengikat) tetapi di seluruh kawasan Timur Tengah. Meskipun hal tersebut memang tidak mudah. Namun, tekad Iran tersebut menunjukkan bahwa ada dendam dan rasa kebencian yang sangat dalam dalam hati Iran terhadap Amerika Serikat.
Belakangan ini, bahkan, Iran juga menyatakan akan membuat perhitungan terhadap negara-negara Uni Eropa (Perancis, Inggris, dan Jerman) yang dianggap membebek saja terhadap kemauan Amerika Serikat.
Upaya Jerman, Prancis, dan Inggris untuk mempertahankan Perjanjian Nuklir Iran, setelah ditinggal oleh Amerika Serikat, hingga kini tidak membuahkan hasil.
Kebanyakan perusahaan Eropa tunduk kepada sanksi yang dijatuhkan Donald Trump terhadap Iran, karena khawatir akan mendapat kesulitan berbisnis di Amerika Serikat. Sekali pun pemerintah Jerman dan Prancis berulangkali menegaskan, perusahaan-perusahaan tetap bisa berinvestasi di Iran dan tidak perlu khawatir dengan sanksi Amerika Serikat. Tapi siapa yang bisa menjamin itu?
Karena Iran tidak melihat keuntungan apa-apa dari prakarsa Eropa, Iran mulai menjauhkan diri dari Perjanjian Nuklir. Sekarang, setelah serangan Amerika Serikat terhadap Qassem Soleimani, Iran bahkan menyatakan sudah “tidak terikat lagi” dengan perjanjian yang dicapai dengan susah payah pada tahun 2015 itu.
Alhasil peta konflik di Timur Tengah pun, kini menjadi semakin rumit: Ada konflik Amerika Serikat versus Iran; Arab Saudi dan monarki Sunni lainnya di kawasan Teluk; Israel dan Lebanon yang dipengaruhi Iran; dan, meningkatnya pengaruh Rusia di Suriah.
Selain itu, ditambah dengan usaha Turki untuk mempertegas pengaruh dan kehadirannya di kawasan.
Tetapi kekuatan luar yang tidak terlalu terlibat mungkin paling layak diperhatikan: China, dengan kepentingan ekonomi, diplomatik, dan strategis Timur Tengah yang terus berkembang. Memang, China tidak terluput dari eskalasi ketegangan di kawasan itu. Akan tetapi, China dapat muncul sebagai penerima manfaat jangka panjang utama.
Naga Waspada
Studi yang dilakukan oleh RAND Corporation (Andrew Scobell dan Alireza Nader, 2016) menunjukkan bahwa China semakin aktif di Timur Tengah. Apalagi setelah Amerika Serikat di bawah Donald Trump menyatakan mulai menurunkan komitmennya terhadap kawasan itu, kecuali terhadap Israel.
Menurut studi itu, China mengadopsi strategi “naga waspada” terhadap Timur Tengah, di mana China enggan melakukan sumber daya diplomatik atau militer yang substansial untuk melindungi energi yang tumbuh dan kepentingan ekonomi lainnya. Dengan strategi itu, China berusaha untuk tidak menimbulkan ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat.
Penulis : Alexander-Wibisono
Sumber : Kompas TV