Perjuangan Kesetaraan Sosial: Kelompok Juru Bahasa Isyarat Indonesia dan Komunitas Tuli
Opini | 9 November 2024, 06:00 WIBOleh: Diory Singgya Zefanya, mahasiswa magister sains peminatan psikologi sosial, Universitas Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok Juru Bahasa Isyarat (JBI) mulai mendapatkan perhatian sebagai komponen penting dalam memperjuangkan aksesibilitas dan kesetaraan bagi komunitas tuli di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Perhatian ini sudah terlihat dari siaran televisi yang menggunakan jasa Juru Bahasa Isyarat pada beberapa program berita atau momentum penting seperti Pemilu, acara keagamaan, dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia telah melakukan pengesahan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menjadi landasan hukum untuk mendukung hak-hak disabilitas termasuk aksesibilitas komunikasi bagi komunitas Tuli.
Meskipun implementasinya belum merata, landasan hukum ini menjadi acuan bagi kelompok JBI berkontribusi di berbagai bidang seperti pendidikan, pekerjaan, pelayanan publik, dan media. Salah satu organisasi yang secara aktif mengadvokasikan hak-hak komunitas tuli dan mempromosikan pentingnya peran kelompok JBI di tengah masyarakat Indonesia adalah GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia).
Organisasi ini bekerja sama dengan pemerintah maupun pihak lainnya seperti organisasi swasta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap komunitas tuli dan menyediakan pelatihan bahasa isyarat bagi siapa pun yang berminat.
Pelatihan bahasa isyarat dianggap sangat penting untuk meningkatkan jumlah Juru Bahasa Isyarat yang berkualitas sehingga individu maupun kelompok mampu menolong komunitas tuli mendapatkan akses informasi yang sama dengan orang yang bisa mendengar (orang dengar) secara akurat.
Baca Juga: Lowongan Kerja Khusus Disabilitas di Kota Tangerang, Disnaker Sediakan 50 Lowongan
Namun, isu apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia sehingga kelompok JBI tidak kunjung berhenti mengadvokasikan hak-hak komunitas tuli? Upaya apa saja yang telah dilakukan kelompok ini untuk menjamin kesetaraan akses pada komunitas tuli? Bagaimana penjelasan fenomena timpangnya kesetaraan akses dapat diubah menggunakan salah satu perspektif teori psikologi sosial?
Kelompok Juru Bahasa Isyarat dan Organisasinya di Indonesia
Juru Bahasa Isyarat adalah individu, baik dari kalangan mendengar maupun tuli, yang memiliki kemampuan untuk menerjemahkan bahasa isyarat secara langsung, tepat, dan akurat (Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat, 2024). Mereka telah mengenyam pendidikan Juru Bahasa Isyarat dari organisasi tuli yang diakui oleh komunitas tuli setempat, salah satunya GERKATIN (Effendi, 2018).
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, GERKATIN adalah organisasi yang memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak komunitas tuli di Indonesia, termasuk mengadvokasi pentingnya peran Juru Bahasa Isyarat serta menyediakan pelatihan bahasa isyarat.
GERKATIN didirikan tahun 1981 dengan tujuan untuk menggali dan meningkatkan sumber daya manusia tuna rungu di Indonesia, mendukung upaya pemerintah dalam program kesejahteraan sosial bagi tuna rungu, serta memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka.
Salah satu visinya adalah menjadi organisasi nasional yang bermitra dengan pemerintah dan organisasi non-pemerintah untuk menciptakan kesetaraan dalam kesempatan, serta meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi tunarungu di berbagai aspek kehidupan.
Pelatihan bahasa isyarat Indonesia oleh GERKATIN bekerja sama dengan PUSBISINDO (Pusat Bahasa Isyarat Indonesia). PUSBISINDO adalah lembaga yang berfokus pada pendidikan, pengajaran, dan pengembangan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), dengan tujuan memperjuangkan kesetaraan dalam pendidikan dan penggunaan bahasa isyarat. PUSBISINDO telah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk universitas, untuk melakukan sosialisasi bahasa isyarat dan menyediakan kelas belajar bahasa isyarat bagi siapa pun yang berminat. Lulusan kelas ini akan mendapatkan sertifikat resmi yang diakui oleh GERKATIN dan PUSBISINDO.
Menurut Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (2023), sertifikat kelulusan merupakan syarat bagi individu yang ingin menjadi anggota JBI, dengan ketentuan minimal telah menyelesaikan level 3. Oleh karena itu, kelompok JBI adalah kumpulan individu yang telah tersertifikasi mampu menggunakan bahasa isyarat dan memiliki peran sebagai perantara komunikasi antara orang tuli dan orang mendengar.
Tugas utama mereka adalah menginterpretasikan percakapan dan informasi audio ke dalam bahasa isyarat, terutama bagi pemirsa tuli. Menurut Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (2024), klasifikasi anggota Juru Bahasa Isyarat terbagi menjadi tiga kategori: JBI profesional, magang, dan relawan, masing-masing dengan kualifikasi dan tugas yang berbeda. Namun, syarat mendasar bagi semua klasifikasi adalah memiliki sertifikat pelatihan bahasa isyarat.
Anggota JBI sering hadir di televisi, seminar, workshop, dan acara publik lainnya untuk memastikan akses komunikasi bagi tamu atau peserta tuli. Secara umum, tujuan kelompok ini adalah:
- Memfasilitasi komunikasi antara orang tuli dan orang mendengar di berbagai situasi, termasuk tempat kerja, pendidikan, dan layanan kesehatan
- Memperjuangkan aksesibilitas agar orang tuli dapat mengakses informasi dan layanan publik dengan setara
- Meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya bahasa isyarat dan mengurangi stigma terhadap komunitas tuli
- Mengadvokasi hak-hak komunitas tuli, seperti penyediaan Juru Bahasa Isyarat di tempat umum
Selain GERKATIN dan PUSBISINDO, terdapat organisasi lain yang terkait dengan Juru Bahasa Isyarat, seperti INASLI (Indonesian Sign Language Interpreters), PLJ (Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat), Silang.id, dan lain-lain. Dengan adanya berbagai organisasi ini, tema yang sama muncul: Menciptakan kesetaraan dan akses yang lebih baik bagi kaum tuli di Indonesia. Kelompok JBI berperan sebagai agen perubahan yang mendukung terciptanya keharmonisan antara komunitas tuli dan orang dengar.
Isu terkait Kesetaraan Sosial bagi Komunitas Tuli
Menurut UU No. 8 Tahun 2016, orang tuli termasuk dalam kategori penyandang disabilitas sensorik, yang mencakup gangguan pada salah fungsi panca indera antara lain disabilitas netra, rungu dan/atau wicara (Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2018).
Berdasarkan data WHO tahun 2020 yang dikutip dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1989/2022 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuli Sensorineural Kongenital, Indonesia termasuk salah satu dari empat negara di Asia dengan angka gangguan pendengaran yang tinggi.
Dari data yang terbatas ini, tugas pemerintah tidak bisa dikatakan mudah untuk memfasilitasi dan memastikan kelompok masyarakat tuli mendapatkan perlakuan yang adil dan setara dengan masyarakat umum. Terlepas dari upaya pemerintah yang sudah dibahas sebelumnya, faktor lain di tengah masyarakat terus terjadi yang kemungkinan sulit terbendung jika tidak bekerja sama dengan baik bersama kelompok JBI dan organisasi terkait. Berikut elaborasi beberapa permasalahan kesetaraan sosial bagi komunitas Tuli:
Pertama, masalah utama yang dihadapi oleh komunitas tuli adalah stigma, stereotip, prasangka, dan diskriminasi. Hambatan terbesar bagi orang tuli adalah minimnya akses untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, yang diperburuk oleh mengakarnya diskriminasi dan stereotip (Lavenia, 2023). Penjelasan ini diperkuat penelitian bahwa kuatnya stereotip menyebabkan keacuhan masyarakat (Carpenter & Sandlin, 2012; Tritt, 2009).
Menurut Ippolito (2020), media sering kali memperkuat stereotip dengan menggambarkan penyandang disabilitas sebagai orang yang perlu "disembuhkan" agar sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Mahalli (2020) menjelaskan layanan publik di Indonesia seperti pengumuman suara di rumah sakit, kantor pemerintahan, dan tempat layanan publik belum semua disertai dengan teks subtitle atau penerjemah bahasa isyarat.
Baca Juga: Warga Difabel Senang dan Deg-degan Bisa Salaman dengan Jokowi dalam Open House
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV