Buka Puasa Bersama
Opini | 19 April 2023, 07:10 WIBHari Minggu kemarin, saya mendapat undangan buka puasa di rumah Rektor UIII Komaruddin Hidayat, di Ciputat, Tangerang Selatan. Yang diundang banyak. Ada wartawan. Ada penggiat gerakan lintas agama. Ada pengajar UIII dan juga UIN Syarif Hidayatullah. Dan, tentu saja para aktivis Caknurian Urban Sufism. Tentu, laki-laki dan perempuan.
Kata Komaruddin, shohib al-bait, pertemuan di rumahnya itu bagian dari kegiatan Caknurian Urban Sufism with Komaruddin. Kegiatan ini dimulai sejak awal pandemi Covid-19.
Niat awalnya, kata Komaruddin, kegiatan Caknurian Urban Sufism itu untuk menemani sahabat-sahabat yang terkurung di rumah karena pandemi. Pandemi telah “mematikan” berbagai bahkan hampir semua kegiatan di luar rumah. Kalaupun dilakukan, itu pun dengan berbagai batasan dan aturan.
Dan, Caknurian Urban Sufism with Komaruddin menjadi forum diskusi tematik dengan menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, disiplin ilmu, latar belakang agama, dan baik dalam maupun luar negeri–orang Indonesia maupun asing.
Kata Komaruddin, forum ini semacam kafe. Menunya ganti-ganti. Suasananya dialogis. Tidak masif pesertanya, berkisar antara 40 -100 orang. Saya rasa, inilah tindakan terdidik, berbudaya, dan cerdas ketimbang mengritik tanpa dasar kecuali kebencian terhadap segala kebijakan pemerintah, mengecam sana-sini tapi tanpa pernah berani berkaca diri apa yang sudah dihasilkan bagi negeri, menyebarkan berita hoaks, dan sebagainya.
Kemarin, kami mendiskusikan banyak hal: dinamika politik di Timur Tengah serta peran Indonesia, dampak dari climate change, dan juga serba sedikit menyinggung dunia pendidikan. Kami mendiskusikannya dari berbagai sudut pandang, berbagai perspektif, secara ringan seperti obrolan di kafe. Namun, sangat menarik.
***
Berbagai bacaan menjelaskan bahwa sufisme merupakan sebuah fenomena yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Ini sebagai sebuah manifestasi dan kemunculan dari perhatian masyarakat urban terhadap dunia spiritualisme. Gairah spiritualitas ini diwakili oleh kelas menengah dengan latar belakang neomodernisme.
Maka, meminjam kategori yang pernah disampaikan Azyumardi Azra, ada tiga macam kategori sufisme: student sufism, conventional sufism, dan urban sufism. Kategori pertama, student sufism, adalah kelompok kajian tasawuf yang berlangsung dalam halaqah-halaqah di kalangan mahasiswa dalam lingkungan perguruan tinggi.
Kategori kedua, conventional sufism yakni kelompok kajian tasawuf yang mengacu pada organisasi atau kelompok di masyarakat yang dikenal sebagai thariqah, tarekat. Sedangkan urban sufism adalah perkumpulan tasawuf yang berkembang di daerah perkotaan; spiritualitas kelas menengah (di Indonesia).
Ini adalah konsekuensi keterasingan mereka dari dunia mereka sendiri. Apalagi mereka merasakan kegersangan dan kehampaan spiritualitas bahkan mereka merasa ada yang hilang dari dirinya. Bila kemudian dalam pencariannya kembali melangkah ke “yang salah” maka akibatnya akan buruk, bisa-bisa menjadi tak peduli atau bahkan benci pada pihak atau orang lain yang berbeda. Malah-malah bisa jadi menjadi ekstremis.
Di era masyarakat milenial, sekarang ini, ada yang memaknai urban sufism, tasawuf urban sebagai budaya populer dan menjadi salah satu bentuk pencarian solusi atas persoalan hidup yang sifatnya hanya temporer dan reaksioner.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV