Politik Minyak Goreng
Opini | 13 Maret 2022, 06:10 WIBMemang, Bung, kalau politik itu tujunnya hanya kekuasaan, ya akan dipaksa diberi baju macam-macam demi tercapainya tujuan. Kata Niccolo Machiavelli (1469-1527) seorang pelopor pemikiran teori-teori politik yang sekularistik, menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan; dalam hal ini kekuasaan. Yang paling afdol belakangan ini adalah baju agama.
Padahal Bung, saya mengutip pendapat Herry-Priyono (2022), politik pada mulanya pertama-tama adalah “persetujuan horizontal untuk hidup bersama.” Kehidupan bersama seperti apa? Tentu, yang saling hormat-menghormati, yang saling menolong, yang menjunjung tinggi toleransi, yang menghormati pluralitas bangsa, hidup berdampingan secara damai apapun suku, etnis, ras, dan agamanya, dan yang ujungnya adalah terciptanya kesejahteraan bersama.
Dalam perkembangannya, Bung, baru kemudian bergeser ke “hubungan vertikal untuk tunduk/taat). Nah, di sini sudah berkaitan dengan soal kekuasaan, perintah, dan kewenangan hirarkis. Politik makin menunjukkan ciri vertikal urusan negara, permerintahan, kekuasaan, otoritas kewenangan, dan dinamika memperebutkannya.
Bagaimana memperebutkannya? Yang, itu tadi, bisa terjerumus ke rumus “menghalalkan segala cara.”
Memang, politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan: dari perhatian manusia, pertimbangan moral, kehidupan beragama dan sekuler, cara hidup, mitos, mimpi, mimpi buruk; dari prakonsepsi dan praduga tentang isu-isu fundamental, tema dan nilai transenden; dan dari perbedaan antara benar dan salah, baik dan jahat, kesenangan dan kesakitan, kebebasan dan tirani, egoisme dan altruisme (Raghavan Iyer, 1930-1995).
Tetapi, Bung, saya masih suka dengan apa yang dikampanyekan Romo Mangunwijaya (alm), Gus Dur (alm) dulu, juga Buya Syafii Maarif dan Abdillah Thoha, mungkin ada tokoh yang lain lagi yang saya tidak tahu. Mereka mengampanyekan politik hati nurani.
Dalam politik hati nurani ini, otoritas harus dipandu hukum moral. Politik seperti ini mengarahkan pelaku dalam dunia politik selalu mengedepankan kebenaran. Hati nuranilah yang seharusnya menjadi otoritas utama karena dia menjadi suara yang selalu bergaung dan memberontak ketika ada suatu situasi atau keadaan yang tidak baik dan benar.
Politik selalu membutuhkan hati nurani dan tunduk padanya, karena dia hendak membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama. Barangkali di sini kita menempatkan politik minyak goreng, Bung.
Dalam rumusan lain, seorang teolog dari Spanyol, Jon Sobrino mengatakan mereka yang memang bekerja dengan ketulusan hati, yang senantiasa berusaha mewujudkan a political love, cinta yang berpolitik, akan semakin nyata. Cinta yang berpolitik bertujuan untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya.
Di sini politik menjelma menjadi cinta. Tidak sekadar dimanfaatkan untuk memburu kekuasaan, di tengah penderitaan rakyat karena berbagai sebab.
III
Jadi bagaimana Bung, politik minyak goreng itu? Kata seorang kawan yang nyaris sejak obrolan dimulai paling sedikit mengemukakan gagasan. Ini juga enggak apa-apa. Karena, mendengarkan orang lain berbicara itu, bukan pekerjaan mudah. Tidak setiap orang bisa mendengarkan orang lain. Sebab, perlu kerendahan hati.
Ya, kalau bicara politik minyak goreng, kita harus menegaskan: minyak goreng yang macam apa. Ada minyak goreng curah, minyak goreng kemasan, krengsengan, virgin oil, minyak goreng olah-ulang (yang sudah hitam-hitam dijernihkan lagi, pasti tidak sehat).
Belum lagi kalau dilihat dari bahannya. Ada minyak goreng kelapa sawit, minyak goreng kelapa, minyak zaitun, minyak goreng canola, minyak goreng wijen, minyak goreng kacang, minyak goreng anggur, minyak biji bunga matahari dan masih banyak lagi.
Menurut saya, Bung, yang penting masalah minyak goreng jangan digoreng-goreng saja, seperti isu-isu lainnya. Di negeri ini, orang suka menggoreng-nggoreng apa pun, yang kadang tujuannya asal bikin ramai, asal bikin gaduh, asal beda dengan pemerintah. Menggoreng-nggoreng segala isu, untuk tujuan negatif. Ada lagi yang nggoreng-nggoreng untuk tujuan politik.
Itu berbahaya, Bung. Karena, kata Cicero (106-43) negarawan Romawi, politik itu mahkluk yang paling hidup yang pernah ada di dunia ini; dengan beribu-ribu otak, kaki, tangan, mata, pikiran, hasrat, nafsu, dan keinginan.
Nah, kalau politik itu seperti rumusan Cicero, maka akan sangat berbahaya kalau ketemu minyak goreng, makin licin, sulit dipegang, di sana enggak ada hati nurani, tidak ada cinta yang berpolitik, yang ada hanyalah kepentingan diri.
Begitulah, Bung…
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV