Hikayat Celeng
Opini | 16 Oktober 2021, 13:52 WIBTrias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
I
Begitu dengar kata “celeng”, mendadak ingat Romo Sindhunata dan perupa Djoko Pekik. Romo membuat beberapa tulisan tentang celeng. Bahkan Romo Sindhu mengarang novel berjudul Menyusu Celeng (2019).
Djoko Pekik membuat lukisan celeng yang diberi judul “Berburu Celeng.”
Lukisan cat minyak di atas kanvas itu menampilkan seekor celeng besar sekali, hitam, dengan badan terbalik, diikat pada bambu dan digotong oleh dua lelaki kurus yang digambarkan busung lapar.
Yang menarik, kerumunan rakyat di sekitar celeng itu bersuka-ria, penuh kegembiraan, sambil menari-nari. Rakyat menyambut tertangkapnya celeng hitam dengan suka-cita dan dilukis dengan penuh warna beda dengan warna celeng yang hitam legam.
Lukisan “Berburu Celeng” itulah yang menginspirasi Romo Sindhu menulis artikel berjudul Negeri Para Celeng (Kompas, 31/6/2011). Dalam artikel itu, Romo Sindhu antara lain menulis, “Lukisan itu dibuat setelah kejatuhan Orde Baru. Konteksnya fajar merekahnya era reformasi. Menyambut lukisan tersebut, penulis mengeluarkan sebuah buku berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999).
Seperti halnya rakyat waktu itu, penulis juga diliputi euforia reformasi. Toh, terpengaruh oleh kecemasan si pelukis, penulis bertanya: ”Celeng dhegleng sudah tertangkap, tapi mengapa di depan semuanya tambah gelap?”
Kata Romo Sindhu, dalam artikelnya, dalam masyarakat Jawa ada yang namanya pesugihan babi ngepet atau bagong liyer atau celeng gontheng. Seperti halnya kodhok ijo, kandhang bubrah, atau Nyai Blorong, pesugihan babi ngepet adalah sejenis upaya menumpuk kekayaan dengan cara menyerahkan diri kepada setan.
Baca Juga: Emaknya Setan
Sebagai imbalan penyerahan diri, pemilik pesugihan akan dibantu kekuatan jahat memperoleh kekayaan dunia tanpa batas. Dengan pesugihan babi ngepet atau celeng gontheng, orang dapat mengubah dirinya menjadi celeng. Ia dapat berkeliaran ke mana-mana, mencuri dan mengeruk barang, harta, atau kekayaan tanpa diketahui siapa pun.
Ia bisa mengeduk apa saja, jagung, padi, ketela, dan palawija lain, lalu membawanya pulang ke rumah untuk dijadikan makanan berlimpah bagi dirinya sendiri dan sanak keluarga.
Celeng gontheng memang sangat rakus. Di desa-desa, celeng gontheng dikenal suka mendatangi orang yang sedang punya hajatan. Maklum, di sana ada banyak uang atau barang hasil hajatan. Dengan mudah, celeng gontheng itu menyedot semuanya.
Karena itu dulu, jika sedang punya hajatan, orang suka menutup got atau peceren saluran air dan kotoran. Sebab, biasanya di sana celeng gontheng menunggu, lalu menyedot semua lewat saluran itu.
Itu bagian dari cerita Romo Sindhu dalam artikelnya Negeri Para Celeng.
II
Akhir-akhir ini celeng banyak disebut-sebut. Celeng itu, mula-mula muncul di Purworejo, Jawa Tengah dan mulai “berkeliaran” di berbagai wilayah Jawa Tengah lainnya, seperti Solo.
Apakah celeng yang muncul belakangan ini dan menjadi trending topic di media-media sosial, media online, sama dengan celeng yang digambar Djoko Pekik dan ditulis Romo Sindhu? Tentu beda.
Celeng dilukis Djoko Pekik dan diceritakan Romo Sindhu adalah celeng rakus: rakus kekayaan, yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk kekayaan negara, untuk memperkaya diri, untuk korupsi. Celeng mereka celeng yang sungguh-sungguh dikuasai nafsu kebinatangan—karena celeng memang binatang.
Celeng pada lukisan Djoko Pekik dan artikel Romo Sindu adalah celeng yang gemuk karena kerakusannya; ditangkap rakyat, karena kerakusannya itu merusak, menggerogoti, dan bahkan menghancurkan tatanan hidup berbangsa dan bernegara.
Celeng rakus seperti itu, sekarang ini, muncul di mana-mana, dari tingkat daerah hingga tingkat pusat. Walau sudah banyak yang ditangkap, tetap saja masih bermunculan, beranak-pinak. Celeng, babi, kalau beranak bisa sampai 10 ekor bahkan lebih.
Penulis : Gading-Persada
Sumber : triaskun.id