Rayuan Pulau Kelapa
Opini | 8 Agustus 2021, 10:00 WIBOleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas
I
Ismail Marzuki, anak Betawi yang lahir di Kwitang pada 11 Mei 1914 (meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, 25 Mei 1958) adalah salah seorang komponis besar Indonesia.
Karyanya antara lain, Rayuan Pulau Kelapa (1944), Gugur Bunga di Taman Bakti (1945), Halo-halo Bandung (1946); juga Sepasang Mata Bola dan Aryati.
Lagu itulah—Rayuan Pulau Kelapa—yang dinyanyikan di Gereja Katolik Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, saat tahbisan Uskup baru Keuskupan Sibolga Mgr. Fransiskus TS Sinaga, Kamis (29/7).
Adalah Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo yang mengajak seluruh umat, saat khotbah—untuk menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa.
Katanya, lagu Rayuan Pulau Kelapa berbicara tentang cinta Tanah Air: “Waktu itu, kesempatan mengajak umat untuk merawat cinta Tanah Air,” kata Kardinal.
Maka Kardinal pun menyanyikan : Tanah airku Indonesia/Negeri elok amat kucinta/Tanah tumpah darahku yang mulia/Yang kupuja sepanjang masa/….
Cinta Tanah Air. Lain lagi cara Greysia Polii/ Apriyani Rahayu dalam mengekspresikan kecintaan mereka pada Tanah Air.
Mereka berjuang habis-habisan untuk merebut emas dalam cabang bulutangkis pada Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang. Dan, berhasil!
Mereka mempersembahkan emas—yang pertama untuk ganda putri dan satu-satunya emas yang direbut Indonesia pada olimpiade kali ini.
II
Lagu Rayuan Pulau Kelapa, mengandung tema nasionalisme.
Syair-syair lagu itu mengandung kecintaan terhadap Tanah Air, menjaga lingkungan, kebanggaan atas sumber daya yang dimiliki Indonesia, ikut menjaga kelestarian dan memelihara kelestarian lingkungan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa.
Itulah nasionalisme. Nasionalisme secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara.
Rasa cinta tanah air dan bangsa merupakan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga negara.
Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada Tanah Airnya.
Kata Bung Karno, nasionalisme Indonesia juga merupakan nasionalisme yang memuliakan kemanusiaan universal dengan menjunjung tinggi persaudaraan, perdamaian, dan keadilan antarumat manusia (Yudi Latif, 2011).
Inilah nasionalisme kemanusiaan Mahatma Gandhi.
Kata Gandhi, “Nasionalisme saya… tidak eksklusif, atau dirancang untuk merugikan bangsa atau individu mana pun. Misi saya bukan hanya persaudaraan kemanusiaan India….saya berharap untuk mewujudkan dan melanjutkan misi persaudaraan manusia. Konsepsi patriotisme saya tidak ada artinya jika tidak sejalan dengan kebaikan seluas-luasnya bagi umat manusia pada umumnya…”
Penulis : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV