Reuni Vaksin
Opini | 27 Februari 2021, 18:04 WIBFransiskus Assisi berani ‘keluar dari batas’: Ia berani menjumpai Sultan Malik Al Kamil di kota Damietta, Mesir pada masa perang salib (1219) dengan membawa misi damai dan kasih, bukan perang. Mereka, kedua tokoh itu, sama-sama memiliki damai otentik dalam dirinya. Semangat damai. Semangat persaudaraan.
Inilah—persaudaraan, Ukhuwah—yang belakangan ini, di negeri kita, terasa mulai menipis (semoga saja tidak hilang; sebab kalau benar-benar hilang, negeri ini bukan lagi Indonesia). Orang lebih suka, lebih cenderung memperlihatkan perseteruan, permusuhan, ketidak-senangan, kebencian, keirian ketimbang persahabatan, persaudaraan, kecintaan, dan saling mendukung.
Ada kecenderungan, sementara pihak lebih senang hiruk-pikuk, hingar-bingar ketimbang hidup aman dan damai, saling menghormati. Ada yang lebih senang mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, tetapi sebaliknya mengunci rapat-rapat mulutnya terhadap hal-hal yang sebenarnya masalah yang harus dipersoalkan.
Anehnya atau malah mungkin “gilanya” sikap-sikap semacam itu tidak monopoli rakyat kecil, rakyat jelata, wong cilik tetapi justru orang-orang besar atau orang-orang yang merasa besar, elite politik, elite masyarakat, bahkan elite agama. Atau justru, rakyat kecil hanya mencontoh para elite: masyarakat, politik, dan agama.
Padahal ada masalah bangsa yang lebih mendesak untuk ditangani secara bersama: pandemi Covid-19! Bukankah pandemi Covid-19 ini telah memporak-porandakan segalanya, tidak hanya kehidupan rakyat Indonesia yang mengalami, tetapi juga rakyat negara-negara lain.
Benar yang ditulis seorang sahabat. Ketika mengomentari postingan foto saya yang tengah divaksin, sahabat itu menulis: “Kita satu perahu.” . Orang-orang yang sudah menerima vaksinasi, diumpamakan sebagai berada dalam satu perahu bersama dengan orang lain yang sama-sama mengupayakan kesehatan bersama; untuk membangun herd immunity, kekebalan komunitas.
Bila herd immunity sudah terbentuk, maka akan menghentikan atau sekurang-kurangnya mengerem penyebaran penularan Covid-19. Maka itu, program vaksinasi terus digencarkan. Meskipun, masih tetap saja ada yang meragukan manfaat vaksinasi, bahkan menentangnya dengan berbagai alasan.
Dalam situasi seperti sekarang ini, berada dalam “satu perahu” adalah sangat penting. Berada dalam “satu perahu” demi saya dan demi kita. Demi kita untuk mengupayakan kesehatan dan keselamatan bersama sebagai satu saudara—saudara setanah air, setumpah darah, sebangsa—bukan sebagai individu. Inilah bentuk solider sebagai saudara. Inilah Ukhuwah Wathoniyah yakni bentuk persaudaraan yang diikat oleh jiwa nasionalisme tanpa membedakan agama, suku, warna kulit, adat istiadat dan budaya dan aspek-aspek yang lainnya.
Pada saat ini, Ukhuwah Wathoniyah sangatlah penting. Sebab, pandemi korona membuka topeng egoisme, dan menyingkap kenyataan bahwa kita telah mengabaikan harta bersama yang paling berharga, yaitu menjadi saudara satu sama lain (Paus Fransiskus, Fratelli Tutti). Maka dengan berada dalam “satu perahu” menerima vaksin maka persaudaraan itu menjadi hidup, menjadi nyata.
Maka, reuni kecil dengan para sahabat lama, benar-benar telah menjadi sarana untuk memperkuat, memperteguh persaudaraan, saling memperkuat dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, yang entah kapan berakhir. Ada kecemasan di antara kami.
Tetapi, kami masih bisa tertawa bersama ketika tahu bahwa ada kawan yang uring-uringan ketika hasil pengukuran tekanan darah dengan piranti digital, sangat tinggi. “Gila, masak tekanan darah saya, 210. Nggak pernah setinggi ini, selama ini. Gara-gara alat digital, jadi tinggi,” katanya bersungut-sungut.
Mendengar omelan itu, dengan ringan Bre Redana mengatakan, “Ah, kita ini bukan mahkluk digital. Instrumen digital tidak sanggup membaca gejala tubuh kita, para gaek ini yang ketika masih aktif dulu sebagai wartawan, menggunakan mesin ketik.” Semua terbahak mendengar komentar itu…
Sumber: Triaskun.id
Penulis : Fadhilah
Sumber : Kompas TV