Mengurai Benang Kusut Perselisihan di Prancis
Catatan jurnalis | 3 November 2020, 00:39 WIBOleh: Yasir Nene Ama, Jurnalis Kompas TV
Belakang media sosial ramai dengan unggahan penolakan produk-produk Perancis. Unjuk rasa pun ramai dilakukan di depan kantor Kedutaan Besar Prancis. Bukan tanpa alasan, hal ini dilakukan atas respons mereka terhadap pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap mendiskreditkan umat muslim. Yuk kita bedah apa saja yang disampaikan Macron dalam pidatonya.
Tanggal 2 Oktober 2020 Presiden Macron berpidato soal ingin membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh ekstrimisme dan paham-paham terorisme. Begini isi pidatonya dalam bahasa Inggris.
"Islam is a religion which is experiencing a crisis today, all over the world, There was a need to free Islam in France from foreign influences."
(Islam dalam keadaan krisis dan di seluruh dunia ada kepentingan untuk membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh asing dalam hal ini pengaruh-pengaruh buruk seperti radikalisme dan juga anarkis atau terorisme)
Ini Macron sampaikan karena adanya ketegangan antara fundamentalisme, proyek keagamaan yang tepat, dan politisi baik di dalam Prancis atau secara global. Prancis memang tengah merancang UU sekularisme dan kebebasan. Harapannya Prancis ingin mengurangi imam yang berlatih/mendapatkan ilmu di luar negeri (dengan maksud mengurangi pengaruh asing tadi), mengurangi homeschooling, dan mengendalikan dana keagamaan.
Dampaknya, asosiasi harus menandatangani kontrak yang menghormati "nilai-nilai republik" untuk mendapatkan subsidi. (nilai republik dalam hal sekularitas, dan kebebasan). Sebagai subsidi nanti pemerintah akan menyertainya dengan perbaikan layanan pendidikan, budaya dan olahraga.
Macron merasa saat ini nilai nilai republik sudah mulai luntur, dan ada blok-blok pemisah di kalangan kaum imigran, yang menciptakan citra bahwa mereka tidak setara dengan orang Prancis lainnya. Padahal yang diinginkan Macron adalah semua rakyatnya sama dan setara. Apapun latar belakangnya.
Beberapa hari kemudian masih di awal Oktober di sebuah sekolah menengah, seorang guru sejarah dan geografi bernama Samuel Paty (47) mengajar materi kebebasan berpendapat/berekspresi.
Karena materi sensitif bagi muslim, maka Paty mempersilakan siswa muslim untuk meninggalkan kelas. Tak dinyana ada siswa (diduga muslim) mengadukan hal ini ke orangtuanya. Orangtuanya meradang dan membuat pernyataan di media sosial (Facebook dan YouTube, yang akhirnya di-take down) dan menggalang massa untuk berdemo atas yang dilakukan Paty.
Demo berlangsung, pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat berembug beserta para orang tua siswa. Dari sini Paty mengatakan bahwa siswa pengadu, tidak ada dalam kelas. Jadi siswa yang disebutnya pengadu ini, sebetulnya tak paham apa konteks yang dia sampaikan saat itu.
Sementara Paty dituding memperlihatkan karikatur dari majalah Charlie Hebdoo tentang Nabi Muhammad SAW.
16 Oktober 2020
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV