Tentang Resesi, Teknikal Resesi dan Tugas Pemerintah
Ekonomi | 7 Agustus 2020, 15:36 WIBOleh: Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata
Krisis ekonomi dipahami sebagai adanya shock pada sistem perekonomian di suatu negara yang menyebabkan adanya kontraksi pada instrumen perekonomian di negara tersebut, seperti nilai aset ataupun harga. Apabila krisis yang berkepanjangan dan memiliki dampak jangka panjang, krisis tersebut dikatakan sebagai depresi. Semua negara yang mengalami depresi dapat dikategorikan sebagai krisis ekonomi.
Sementara itu, resesi teknikal merupakan suatu kondisi yang memberikan sinyal bahwa suatu wilayah memasuki gerbang resesi. Terjadinya resesi teknikal ditandai oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang negatif selama 2 kuartal berturut-turut.
Meskipun demikian, ketika suatu negara mengalami resesi teknikal, belum tentu negara tersebut mengalami resesi karena mungkin saja kontraksi 2 kuartal berturut-turut merupakan siklus bisnis sementara yang berjangka pendek. Namun, apabila indikator-indikator ekonomi seperti PDB, inflasi dan pengangguran, belum juga pulih setelah 2 periode tersebut, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut sudah masuk dalam kondisi resesi.
Resesi di berbagai negara mempunyai penyebab dan bentuk yang berbeda-beda satu sama lain, seperti misalkan resesi ekonomi yang terjadi di Venezuela sejak tahun 2014, dan krisis Yunani pada tahun 2010 juga mempunyai penyebab dan dampak yang berbeda satu sama lain, di mana krisis di Venezuela disebabkan oleh jatuhnya harga minyak, sementara krisis Yunani cenderung disebabkan oleh membengkaknya utang negara.
Namun, ada juga resesi yang memengaruhi perekonomian global, dan mayoritas negara terkena dampaknya. Resesi global ini terjadi 2 kali dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, yaitu pada saat Great Depression pada tahun 1929-1933, dan Global Financial Crisis di tahun 2008. Dalam kedua resesi global tersebut, hampir semua negara maju mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi, penurunan kapasitas produksi, serta peningkatan angka pengangguran secara signifikan.
Resesi global pada umumnya didahului oleh adanya bubble, di mana pada tahun 1929, didahului oleh bubble saham, sementara pada tahun 2008 didahului oleh bubble di pasar derivatif.
Berdasarkan sejarahnya, Indonesia tercatat mengalami 2 kali resesi, yaitu pada saat tahun 1960an dan tahun 1998. Pada periode 1960an, perekonomian Indonesia dianggap resesi seiring dengan kontraksi ekonomi yang terjadi pada tahun 1962-1963 diikuti oleh hyperinflation. Sementara pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami resesi sejalan dengan kontraksi ekonomi pada 1Q98 hingga 1Q99.
Adapun penyebab resesi ini didahului oleh krisis keuangan di Thailand yang kemudian berdampak pada pelemahan Rupiah dan mengakibatkan kenaikan utang luar negeri Indonesia. Melompatnya tingkat utang luar negeri perusahaan Indonesia menyebabkan gagal bayar pada sektor perbankan, dan akhirnya berdampak sistemik kepada perekonomian Indonesia saat itu.
Kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada tahun 1998. Krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand Bath juga diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak prudent karena sebagian utang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai, penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta utang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik. Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar. Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah.
Penulis : Zaki-Amrullah
Sumber : Kompas TV